Awal  September, memasuki musim pancaroba, siang hari serasa lebih panas dari biasanya.  Terik matahari dan uap panas bumi sisa hujan tadi malam tak ubah berada dalam ruang oven raksasa.
      Sebelum pulang  Fitri singgah ke pasar, ia hendak melihat -- lihat.  Di tengadahkanya  kepala  membaca  papan nama toko.  Di dalam toko hanya terlihat beberapa orang pembeli, mumpung sepi, bisa tanya -- tanya dahulu.Â
      Puasa baru jalan sepuluh hari, pasar belum ramai dengan pengunjung, apalagi toko yang di kunjungi Fitri ini termasuk toko yang menjual barang -- barang branded.
      Setelah menemukan barang yang diincarnya, Fitri memberanikan diri bertanya harga pada karyawan toko.  Ia tahu, uang yang ada dalam saku baju dinas hanya cukup untuk ongkos pulang.Â
      "Diskon dua puluh persen, kebetulan hanya tinggal satu." terang karyawan itu.
      Fitri diam sejenak, mencari kata- kata yang tepat.  "Bagaimana kalau saya titip dahulu, jangan dijual pada orang lain. besok saya ambil..."
      "Wah... Kak, saya tidak bisa janji, tapi saya akan taruh di estelase depan, biasanya orang -- orang  hanya menawar yang di dalam..."
      Girang bukan kepalang, setidaknya masih ada harapan.  Dalam hati, keluarpun gaji honornya besok, belum tentu terbeli.  Gajiku tidaklah lebih besar dari harganya.
Â
      Dalam  keremangan kamar tidurnya,  Fitri  berbaring  gelisah seriring pikiranya berputar.  Perdebatan dengan suaminya saat berbuka puasa tadi terbawa sampai kini.Â
      Fitri sadar idenya meminta uang pada ayahnya  bukanlah cara yang tepat.  Dia tahu betul watak suaminya,  apalagi hanya untuk membeli sesuatu yang tidak mendesak.Â