"Warga Bali asli enggak suka demo," begitu komentar yang muncul di media sosial. Seolah protes adalah sesuatu yang asing, bahkan tabu, di tanah ini.
Tapi mengapa? Apa yang membuat masyarakat Bali begitu enggan untuk menyuarakan ketidakpuasan, bahkan ketika rumah mereka terendam banjir, sawah mereka berganti vila, dan jalanan mereka macet oleh wisatawan?
Ketakutan yang Tak Terlihat
Bayangkan skenario ketika seorang warga menghadapi polemik pembangunan hotel baru di dekat rumahnya yang membuat jalanan sempit makin sesak. Air sumurnya juga mulai surut. Namun ketika ditanya apakah ia pernah memprotes, jawabannya tegas: "Tidak berani."
"Nanti dikira saya anti-pembangunan," katanya. "Orang-orang akan bilang saya mengganggu pariwisata. Itu sama saja membuat masalah."
Ilustrasi itu bukan imajinasi. Dalam penelitian yang dikutip dalam artikel BBC News, I Wayan Suyadnya, dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Brawijaya, mengalami penolakan demi penolakan ketika mencoba mewawancarai warga di Canggu tentang dampak pariwisata massal. Mereka menganggap penelitiannya sebagai upaya "menjelek-jelekkan pariwisata", hal ini dianggap sebuah dosa yang tidak boleh dilakukan.
Yang menarik, sikap ini bukan karakter asli orang Bali. Sebelum peristiwa kelam 1965, masyarakat Bali justru vokal dan kritis. Mereka memprotes ketidakadilan, melawan penguasa tanah yang sewenang-wenang, dan aktif dalam gerakan politik. Lalu apa yang berubah?
Ketika Protes Dianggap Ancaman Nyawa
Tragedi pembantaian massal 1965 meninggalkan bekas luka yang tidak pernah benar-benar sembuh. Diperkirakan delapan puluh ribu orang tewas dalam waktu singkat. Tetangga membunuh tetangga. Keluarga terpecah berdasarkan label politik yang sering kali dipaksakan.
Yang tersisa bukan hanya duka, tapi ketakutan yang meresap ke dalam setiap aspek kehidupan. Ketakutan bahwa berbicara terlalu keras, mengkritik terlalu tajam, atau memprotes terlalu vokal bisa membawa bencana. Bukan bencana hipotetis, tapi bencana yang pernah mereka saksikan dengan mata kepala sendiri.
I Ngurah Suryawan, antropolog dari Universitas Papua, menjelaskan bahwa setelah 1965, pemerintah Orde Baru secara sistematis membentuk masyarakat Bali menjadi "penurut." Mereka yang dulu kritis dibungkam, secara literal maupun kiasan. Anak-anak diajarkan untuk tidak bertanya tentang masa lalu. Orang tua melarang anaknya untuk bersikap kritis, bukan karena tidak peduli, tapi tapi karena terlalu takut kehilangan mereka.