Mohon tunggu...
msaiful haris
msaiful haris Mohon Tunggu... Fakultas Syari'ah dan Hukum Prodi Perbandingan Mazhab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Membaca serpihan ilmu, melekatkan dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Boikot Produk Israel Redup: Tafsir Ushul Fiqih Terhadap Pilihan Konsumsi Umat

14 Juli 2025   21:26 Diperbarui: 14 Juli 2025   21:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dunia masih diguncang oleh kezaliman yang dilakukan rezim Israel terhadap rakyat Palestina.  Dilansir dari aljazeera.com, sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza pada 7 Oktober 2023 hingga awal Juli 2025, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat lebih dari 56.647 warga Palestina gugur dan 134.105 lainnya luka-luka. Di antara korban tersebut, sekitar 59% adalah perempuan, anak-anak, dan lansia.  Lebih dari 90% penduduk Gaza telah kehilangan tempat tinggal, akibat penghancuran masif---sekitar separuh lebih dari 2 juta orang hidup dalam pengungsian atau tempat sementara .  Fasilitas kesehatan nyaris kolaps: hampir 84% rumah sakit dan klinik rusak atau hancur, menyisakan hanya 16% yang berfungsi atau beroperasi sangat terbatas  dan akses pendidikan lumpuh,  diperkirakan lebih dari 90% sekolah dan universitas mengalami rusak berat atau hancur, memutus akses pendidikan bagi ratusan ribu anak . Situasi ini bukan sekadar konflik, melainkan tragedi kemanusiaan yang menuntut sikap nyata.

Salah satu bentuk sikap tersebut adalah boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Indonesia, melalui Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 83 Tahun 2023, secara tegas menyatakan bahwa mendukung agresi Israel terhadap Palestina hukumnya haram. Fatwa tersebut juga mengimbau umat Islam untuk menghindari konsumsi dan penggunaan produk yang secara langsung atau tidak langsung mendukung Israel.

Fatwa: Seruan Moral dan Hukum

Fatwa MUI ini bukan sekadar ajakan kosong, melainkan seruan moral sekaligus hukum berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam redaksinya, MUI mengacu pada prinsip dasar syariat: "Adh-dhararu yuzlu" -- Kemudharatan harus dihilangkan. Agresi militer yang dilakukan Israel terhadap Palestina jelas merupakan kemudharatan besar. Maka segala bentuk dukungan terhadap agresi tersebut, termasuk lewat konsumsi produk yang terafiliasi dengan Israel, adalah bentuk partisipasi tidak langsung yang patut dihentikan.

Pada pertengahan 2025, berbagai lembaga dan platform pengawasan konsumen telah mencatat lebih dari 1.200 merek global dalam daftar boikot mereka. Aplikasi seperti situs web No dan Boykott. Threwitness.News sering digunakan untuk menyelidiki perusahaan produk dengan unit pro-Israel. Produk-produk seperti Coca-Cola, PepsiCo, Osem/Nestl, McDonald's, Starbucks, KFC adalah contoh merek yang paling sering dimasukkan dalam daftar boikot untuk partisipasi langsung atau tidak langsung dalam dukungan rezim Israel. Salah satu platform yang saat ini disebarkan oleh umat Islam untuk mencari tautan untuk produk -produk ini adalah Bdnaash.

Namun, sayangnya gaung boikot itu perlahan meredup. Di awal, semangat masyarakat begitu tinggi. Gerakan boikot mengalir di media sosial, pesan-pesan edukasi menyebar di masjid-masjid dan komunitas. Tapi seiring waktu, gaya hidup konsumtif kembali mengambil alih. Masyarakat mulai ragu: apakah boikot benar-benar berdampak? Apakah ini hanya sekadar simbolik?

Boikot: Antara Simbolik dan Strategik

Pertanyaan ini layak diajukan, tapi jangan buru-buru mengecilkan nilainya. Dalam kerangka ushul fiqih, tindakan boikot dapat dilihat melalui konsep sad adz-dzari'ah -- yaitu menutup jalan menuju kemudharatan. Jika suatu hal pada dasarnya mubah (boleh), tetapi menjadi perantara terhadap sesuatu yang haram atau membahayakan, maka hukumnya ikut menjadi haram.

Boikot, dalam konteks ini, adalah ikhtiar menutup jalan dukungan ekonomi terhadap agresi Israel. Apalagi bila keuntungan dari produk-produk tersebut benar-benar terbukti mengalir pada entitas atau perusahaan yang secara langsung berafiliasi dengan pendudukan Israel. Maka, ini bukan hanya soal preferensi konsumsi, tapi persoalan prinsip. Sebagian mungkin berargumen: "Kalau semua diboikot, bagaimana nasib pekerja lokal?" atau "Apakah ada jaminan produk pengganti yang sepadan?" Di sinilah prinsip "Idza ta'radat mafsid yur'a a'zhamuh" (jika dua kemudaratan bertemu, maka pilih yang lebih ringan) bisa dijadikan pegangan. Jika di satu sisi boikot menyebabkan ketidaknyamanan seperti harus mencari produk alternatif, atau bahkan potensi pemutusan kerja, itu tetap tidak sebanding dengan dukungan terhadap penjajahan dan pembantaian. Islam mengajarkan untuk memilih kerugian yang lebih kecil demi mencegah kerusakan yang lebih besar.

Perlawanan dalam Skala yang Kita Mampu

Tidak semua orang bisa mengangkat senjata atau terjun ke wilayah konflik. Tapi setiap orang punya tanggung jawab dalam batas kemampuan masing-masing. Boikot bukan satu-satunya jalan, tapi ia adalah salah satu bentuk perlawanan sipil yang sah secara moral, halal secara syariat, dan memungkinkan dilakukan oleh siapa pun. Selain boikot, tentu umat Islam juga diajak untuk terus mendoakan kemenangan dan keselamatan bagi rakyat Palestina, Mendukung lembaga kemanusiaan terpercaya yang menyalurkan bantuan, Mengedukasi publik agar sadar akan isu ini bukan semata konflik politik, tapi tragedi kemanusiaan dan penjajahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun