Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Pelihara Mental Blocking

2 Januari 2021   13:05 Diperbarui: 2 Januari 2021   13:09 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Beberapa pekan ini aktivitas belanja online istri meningkat. Banyak rupa-rupa barang yang dia beli di salah satu market place terbesar tanah air. Bukan barang-barang mahal, namun lebih berupa pernak-pernik untuk keperluan ornamen atau hiasan kantor, rumah maupun cafe. Apalagi dari semenjak bulan November hingga akhir tahun banyak penawaran diskon, kloplah semua itu.

Permasalahan bukan pada belanja atau barang belanjaannya, namun pada pilihan metode pembayaran. Semua item pembelian tersebut dilakukan dengan metode COD (Cash On Delivery). Ada kalanya barang datang ketika kami berada di luar rumah, walhasil kurir harus datang lagi di kesempatan yang lain. Ada kalanya pula security cluster yang sedang bertugas membayari terlebih dahulu ketika kurir datang dan kami tidak berada di rumah. Setibanya di rumah baru kemudian kami ganti uang yang telah ditalangi oleh security tersebut.

Sering pula kami harus menitipkan uang pada security kalau-kalau barang belanjaan COD datang pas kami sedang keluar. Hal ini membuat saya pribadi tidak nyaman dan meminta istri agar mengubah metode pembayaran menggunakan kartu kredit saja. Istri lantas berkata bahwa tidak bisa memakai pilihan metode pembayaran via kartu kredit. Menurutnya aplikasi market place yang diinstall ulang di ponselnya tidak ada pilihan kartu kredit, sehingga tiap kali belanja harus COD.

Saya selalu membantah alasan istri, tak mungkin jika market place tersebut tidak ada pilihan kartu kredit sebagai metode pembayaran. Dunia sudah sedemikian maju, uang tidak perlu dipegang secara fisik, cuma angka-angka saja yang berpindah dari rekening yang satu ke rekening yang lain. Jadi adalah keanehan besar ketika ada market place yang tidak mengakomodir kartu kredit sebagai cara pembayaran.

Sekitar tiga hari yang lalu istri menunjukkan pada saya aplikasi market placenya sembari menunjukkan kalau metode pembayarannya hanya COD saja. Aplikasi tersebut kemudian saya utak-atik dan ternyata ada berbagai metode pembayaran selain COD seperti bank transfer, kartu debit, dan kartu kredit. Jadi mulai saat itu masalah ketidaknyamanan akibat COD sudah terpecahkan.

Apa yang terjadi sebenarnya sehingga selama berbulan-bulan istri menganggap di aplikasinya tidak bisa menggunakan metode pembayaran selain COD?  Hal ini menurut saya adalah salah satu bentuk mental blocking yang menghambat kemajuan seorang manusia. Dengan menanamkan di pikiran sendiri bahwa metode pembayaran yang lain tidak bisa, juga karena terlalu takut mencoba, maka selama waktu yang lama metode pembayaran COD tidak pernah dirubah. Padahal secara logika dan common sense tidak mungkin sebuah market place hanya mengakomodir metode pembayaran secara COD saja. Mental blocking terbukti efektif mengakibatkan kondisi di atas dan mengganggu kemajuan.

Dalam hidup seringkali kita justru menanamkan sikap keragu-raguan, minder, putus asa, dan mudah menyerah pada diri kita sendiri. Padahal sebagai seorang manusia yang diciptakan Tuhan dalam kondisi sempurna, potensi manusia itu sangat dahsyat. Namun justru sikap dan pikiran kita yang membatasi sendiri kemampuan tersebut.

Saya tidak mampu, saya tidak bisa, bukan kapasitas saya, aku gak paham, adalah contoh-contoh ungkapan pernyataan yang menghambat kemajuan diri seorang manusia. Alih-alih mengungkapkan akan saya coba, saya yakin bisa, saya bisa mempelajarinya, orang-orang dengan mental blocking akut selalu berkata sebaliknya. Belum mempelajari secara lengkap, detail, seksama, namun sudah buru-buru menolak sesuatu hal sebelum mencobanya.

Seorang teman saya pernah berkata, jangan sekali-kali menolak rejeki. Kebetulan dia seorang pengusaha juga, sehingga ketika ada suatu order yang belum pernah dia kerjakan atau barang yang pernah dibuat, dia akan tetap berkata "siap, saya akan kerjakan dan sediakan secepat-cepatnya". Setelah itu baru kemudian dia kerahkan daya dan upaya beserta untuk mewujudkan apa keinginan konsumennya. Entah dia suruh anak buahnya mencari rekanan, tenaga expert, bajak orang, yang penting pekerjaan yang ditargetkan padanya selesai dan sesuai kriteria.

Bisa dibayangkan jika teman saya tersebut mempunyai mental blocking, tentu dia tidak akan pernah mencoba hal-hal baru dan membatasi rejekinya sendiri. Tentu pada saat menerima suatu tantangan pekerjaan dia tidak ngawur, sudah berhitung di awal dan tidak sembarang mengatakan iya. Hal ini berkebalikan dengan orang-orang dengan mental blocking yang cenderung berkata tidak hanya karena dilandasi ketakutan dan mentalnya yang lemah.

Oleh karenanya, jangan sampai kita tersandera dengan mental blocking. Manusia sudah diciptakan dalam bentuk sesempurna-sempurnanya makhluk, jangan sampai kita terbatasi oleh mental blocking yang justru kita pelihara sendiri.


MRR, Bks-02/01/2021

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun