Mohon tunggu...
Sosbud

Pengaruh Budaya Lokal terhadap Penerapan HaKI

14 Januari 2011   11:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:36 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) merupakan suatu hak milik yang berada dalam ruang lingkup teknologi, ilmu pengetahuan, seni atau karya sastra. Pemilikan tersebut bukan terhadap barang melainkan terhadap hasil kemampuan intelektual manusia, misalnya berupa ide. Perlindungan atas kekayaan intelektual di dasari atas alasan bahwa, walaupun sangat abstrak, kekayaan intelektual dianggap memiliki nilai komersial atau nilai ekonomi. Hal ini karena “kekayaan intelektual” mengacu pada rancang bangun, teknologi atau produk yang ditemukan oleh pribadi atau perusahaan tertentu, dan “hak” mengacu pada pengakuan bahwa penemunya harus diberi imbalan, seperti hak secara eksklusif untuk memanfaatkannya, atau menarik royalti dengan cara menyewakan penggunaannya. Perlindungan HaKI diberikan melalui hak paten, hak cipta, atau merk dagang, kepada “pemilik” atau penemunya. Di Indonesia dalam pengaruh budaya lokal terhadap penerapan HaKI masih sangat memperihatinkan yang dikarenakan belum siapnya masyarakat Indonesia terhadap HaKI. Seperti halnya tentang hak cipta. Hal ini sering dilanggar oleh masyarakat Indonesia pada umumnya karena mungkin di bidang HaKI itulah paling banyak produk yang dihasilkan. Pembajakan yang terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh budaya masyarakat itu sendiri, lemahnya sosialisasi dan pengetahuan masyarakat tentang HaKI.

Masyarakat Indonesia yang kurang peduli terhadap HaKI inilah yang mungkin sudah menjadi suatu Budaya bahwa apa yang baru dan bermanfaat akan lebih menguntungkan dan bangga apabila orang lain juga mengetahuinya tanpa memikirkan akibat kedepannya. Hal ini akan merugikan pencipta (royalty) dan negara (pajak). Kurangnya pengetahuan masyarakat Indonesia tentang HaKI juga berpengaruh terhadap perlindungan HaKI tradisional Indonesia dalam perdagangan bebas dunia. Konsep HaKI pada dasarnya memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individual dalam melakukan kegiatan untuk menghasilkan temuan (invention). Dengan begitu, pemegang HaKI mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya. Dengan begitu, sebenarnya HaKI lahir dalam masyarakat di mana hak kepemilikan dimiliki oleh individu atau perusahaan. Dalam hal ini adalah masyarakat kapitalis Barat. Misalnya, pengetahuan tradisional yang berkembang berorientasi kepada komunitas, bukan individu. Sehingga masalah perlindungan pengetahuan tradisional yang muncul selalu harus diselesaikan secara khusus pula. Dengan perbedaan mendasar seperti ini, maka penerapan HaKI secara taken from granted akan banyak menimbulkan permasalahan setidaknya bagi negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia.

Secara tradisional sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak memahami filosofi dasar HaKI. Sebagai contoh dibeberapa suku di Sasak dan Lombok, bahwa masyarakat adat ternyata tidak menganggap pengetahuan tradisional yang mereka praktekan sebagai miliknya. Mereka rela apabila ada pihak lain yang menggunakan pengetahuan tersebut meskipun tanpa persetujuan terlebih dahulu karena beranggapan bahwa semakin banyak digunakan maka semakin bermanfaat pula pengetahuan itu. Dengan demikian, maka dengan sangat mudah produk-produk pengetahuan tradisional mereka diklaim oleh pihak lain. Kasus pengklaiman produk budaya Indonesia tidak hanya terjadi sekali, namun berulangkali. Beberapa kasus di antaranya klaim desain ukir-ukiran kayu tradisional Bali di USPTO dan desain industri kursi rotan oleh orang Amerika. Makanan tradisional kita, tempe, juga menjadi korban klaim. Jepang juga sempat mematenkan beberapa jenis rempah-rempah asli Indonesia, diantaranya kayu rapet (Parameria laevigata), kemukus (Piper cubeba), tempuyung (Sonchus arvensis L), belantas (Pluchea indica L), mesoyi (Massoia aromatica Becc), pule (Alstonia scholaris), pulowaras (Alycia reindwartii Bl), sintok (Cinnamomum sintoc Bl), kayu legi, kelabet, lempuyang, remujung, dan brotowali. Kasus klaim yang terakhir adalah klaim Malaysia terhadap lagu daerah Rasa Sayange dan Reog Ponorogo. Berbagai kasus klaim ini sungguh ironis karena justru terjadi setelah perlindungan HaKI diterapkan dalam perdagangan internasional. Dengan latar belakang inilah, menjelaskan berbagai permasalahan dan pengaruh budaya lokal (tradisional) terhadap penerapan dan perlindungan HaKI di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun