Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Luka Pagi dan Pelajaran Berharga

23 Juni 2025   09:27 Diperbarui: 23 Juni 2025   14:28 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi berdarah! Rafa, 11 tahun, mencoba selamatkan pensil warna dari adiknya. Nahas, ia injak pecahan gelas. Darah mengucur, Rayan menjerit ketakutan.

Pagi merayap perlahan, membawa semilir angin sejuk ke kamar Rafa. Usai shalat Subuh, bocah 11 tahun itu duduk bersila di atas kasur busanya yang terhampar di lantai. Segelas air putih telah tandas, ia meletakkan gelas kaca itu hati-hati di sisi kasur, tak jauh dari tangan. Aroma tanah basah setelah hujan semalam masih samar tercium, membawa ketenangan pagi.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Rayan, adiknya yang berusia tiga tahun, melesat masuk. Mata bulatnya langsung tertuju pada meja di sudut ruangan, tempat pensil warna Rafa tergeletak. Rafa tahu betul tabiat adiknya. Rayan adalah si "destroyer" cilik yang selalu berhasil merusak apa pun yang disentuhnya. Melihat Rayan melangkah mendekati harta karunnya, pensil warna kesayangannya yang masih sering ia gunakan, Rafa sontak melonjak bangkit. Niatnya hanya satu: menyelamatkan pensil-pensil itu dari tangan adiknya.

Dalam ketergesaan, kakinya tak sengaja menyenggol gelas yang baru saja diletakkannya. PRANG! Suara pecah memekakkan telinga, memecah kesunyian pagi. Serpihan kaca berserakan di lantai. Sialnya, kaki Rafa yang telanjang mendarat tepat di atas pecahan itu.

Seketika, rasa perih menusuk tajam, diikuti hangatnya cairan yang mengalir. Rafa mendongak. Darah merah kental mengucur deras dari telapak kakinya, membasahi lantai putih. Rayan yang melihat pemandangan itu sontak menjerit ketakutan. Suara jeritannya melengking, mengisi seisi rumah.

Ibu yang mendengar jeritan itu langsung berlari ke kamar. Matanya membelalak, ia pun ikut menjerit melihat darah yang terus mengalir di lantai. Mendengar dua jeritan itu, Ayah segera datang tergopoh-gopoh. Tanpa pikir panjang, Ayah meminta tolong tetangga sebelah rumah, Mbah Saring. Dalam hitungan menit, mobil Mbah Saring sudah siap di depan rumah.

Rafa dibopong oleh Ayah ke dalam mobil Mbah Saring, rasa nyeri dan pusing mulai melanda. Suara mesin mobil menderu, memecah keheningan desa Kaliwungu, melaju cepat menuju Klinik Permata yang berjarak sekitar satu kilometer. Sesampainya di klinik, seorang mantri, sekaligus pemilik Klinit Permata, bernama Boiman dengan sigap menangani Rafa. Bidan Boiman menyuntikkan bius lokal, dan rasa dingin serta kebas perlahan menjalar di kakinya. Sepuluh jahitan diberikan untuk menutup luka Rafa. Setelah itu, Bidan Boiman membekalinya dengan antibiotik dan obat antinyeri. Perjalanan pulang terasa lebih tenang, meski sesekali Rafa masih merasakan denyut di kakinya. Ia tahu, petualangan pensil warna paginya telah berakhir dengan pelajaran yang menyakitkan.

***

Sepuluh menit berlalu sejak insiden itu, dan kini Rafa terbaring di tempat tidur, kakinya yang terluka sudah dibalut perban dengan sepuluh jahitan. Ia harus mendekam selama beberapa hari untuk proses penyembuhan. Rasa sakit masih terasa, namun yang lebih membekas adalah pelajaran dari kejadian itu.

Kejadian pagi itu seolah menjadi awal dari serangkaian "ulah" Rayan, si tiga tahun yang dijuluki "destroyer". Beberapa hari kemudian, saat waktu Magrib tiba, Ayah membawa Rayan ke mushola dekat rumah. Suasana mushola yang biasanya tenang mulai terganggu oleh kehadiran Rayan. Di tengah kekhusyukan jamaah, Rayan menemukan bungkusan kue kering di tas Ayah. Dengan cepat ia mengeluarkan sebungkus kue, lalu dengan suara pop! yang cukup keras, ia meletuskan bungkus kue itu, menarik perhatian beberapa jamaah.

Ayah yang malu, dengan sigap meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, memberi sinyal agar Rayan diam. Namun, Rayan justru berontak. Ia tidak suka dilarang. Wajahnya memerah, dan teriakan melengking keluar dari tenggorokannya, membuat seluruh mata tertuju pada mereka. Tak ada pilihan lain, Ayah segera membopong Rayan keluar mushola dan membawanya pulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun