Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sri Utami, Pelita dari Mojosongo

20 Juni 2025   21:37 Diperbarui: 20 Juni 2025   21:37 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi di Solo menyapa dengan lembut. Udara yang sejuk menyelusup ke sela-sela pepohonan, sementara aroma tembakau dari warung kecil dan wangi melati dari pasar tradisional menyatu dalam udara. Di sudut gang kecil Mojosongo, langkah-langkah kaki para pasien perlahan mengarah ke sebuah bangunan bersahaja namun sarat makna---Klinik Mojosongo, rumah harapan bagi banyak warga kecil yang tak mampu membeli layanan medis mahal.

Di halaman klinik itu, seorang perempuan paruh baya tampak sedang menyapu dedaunan kering. Geraknya cekatan meski tubuhnya tidak muda lagi. Wajahnya berseri, dengan senyum yang tak dibuat-buat, menyapa siapa saja yang lewat. Dialah Sri Utami, perempuan kelahiran Kediri, 13 Oktober 1948, yang namanya telah menjadi cahaya bagi banyak orang yang terlupakan oleh sistem.

"Bu Sri itu selalu nyapu sendiri tiap pagi," bisik seorang perawat muda kepada pengunjung yang baru pertama kali datang. "Katanya, biar klinik ini bersih dengan cinta, bukan cuma sapu."

Tak seperti tokoh besar yang hidup dalam bayang-bayang birokrasi atau protokol resmi, Bu Sri justru membaur dalam keseharian. Ia tidak duduk di balik meja direktur. Ia berada di tengah-tengah: menyapa pasien satu per satu, membantu menyeduh kopi untuk petugas jaga malam, bahkan sesekali ikut mengangkat galon air.

Di ruang tunggu yang hangat, tempat aroma kayu manis dan jahe dari termos wedang memenuhi udara, Sri Utami seringkali mengajak pasien dan keluarga mereka duduk bersama. Di sana, ia bercerita dengan suara pelan namun penuh makna. Tentang masa lalu, tentang perjalanan berat yang ia tempuh---mulai dari menjadi tukang batu, penjual gorengan, hingga jamu gendong. Semua itu ia lakukan demi satu tujuan mulia: menyekolahkan suaminya, dr. Mudzakkir, agar kelak bisa membantu orang-orang tak mampu.

Dan benar saja. Pada 1 April 2001, bersama sang suami, ia mendirikan Klinik Mojosongo. Modal mereka saat itu hanyalah keyakinan dan niat tulus. Tak jarang pasien datang tanpa uang sepeser pun, namun tetap diterima, dirawat, bahkan dipulangkan dengan obat di tangan dan doa di dada.

Kini, klinik kecil itu telah tumbuh menjadi Rumah Sakit Mojosongo Group, dengan cabang di Karanganyar, Klaten, dan Sukoharjo. Tapi Bu Sri tak pernah berubah. Di usianya yang tak lagi muda, ia masih berbelanja sayur ke pasar, ikut senam bersama warga, dan bahkan membentuk koperasi tanpa bunga untuk membantu pedagang kecil.

Seorang relawan yang pernah datang ke sana tak bisa melupakan pertemuan itu. Ia menyaksikan langsung bagaimana Sri Utami membelai kepala pasien anak-anak dengan minyak kayu putih, mengantar teh manis hangat untuk nenek-nenek yang menunggu antrian, dan mengucapkan doa dengan suara pelan yang menggetarkan hati.

Sri Utami bukan hanya pendiri rumah sakit. Ia adalah ibu, sahabat, dan penolong bagi mereka yang tersingkirkan. Ia menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan bukan semata perkara obat dan diagnosa, tetapi tentang memanusiakan. Klinik yang ia bangun bukan sekadar tempat pengobatan, melainkan ruang penuh kasih---tempat orang-orang miskin merasa dihargai dan diperhatikan.

Di tengah arus zaman yang kian materialistis, sosok Sri Utami berdiri seperti lilin kecil yang terus menyala. Terangnya tak menyilaukan, tapi cukup untuk menuntun langkah ribuan jiwa yang nyaris kehilangan harapan.

Dan setiap hari, di Mojosongo, kisahnya terus hidup---mengalir dari satu tangan ke tangan lain, dari senyum ke senyum, dari satu doa ke doa yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun