Yani menarik napas panjang. Sambil menyeruput sisa kopi yang mulai dingin, ia melanjutkan unek-uneknya, "Lucunya, Sen, semakin hari, sekolah ini---atau semua sekolah---malah terasa seperti perusahaan."
Husen mengangkat alis, separuh tertarik, separuh pasrah. "Apalagi sekolah swasta, ya?"
Yani mengangguk. "Promosinya udah kayak iklan skincare. Brosurnya heboh. 'Kami punya kolam renang!', 'Setiap kelas full AC!', 'Lab komputer kami berstandar internasional!'---bahkan ada yang bilang 'Sekolah kami siap mencetak pemimpin masa depan'. Tapi... mendidik itu bukan soal kolam renang, Sen."
Husen tertawa pelan. "Bukan soal AC juga, ya?"
"Bukan. Tapi soal relasi. Soal bagaimana anak-anak merasa dilihat, dihargai, dan dibentuk menjadi manusia. AC boleh dingin, tapi hati guru dan muridnya jangan ikut beku."
Husen menyandarkan punggung. Pandangannya menerobos jendela, ke arah lapangan sekolah yang mulai sepi. "Masalahnya memang kompleks, Yan. Sekolah hari ini dipaksa jadi dua hal sekaligus: lembaga bisnis dan lembaga pendidikan."
"Konyol, kan?" potong Yani. "Dua hal itu gak sejalan. Satunya mikir untung, satunya mikir nilai. Satunya ngejar angka pendaftaran, satunya pengen ngajarin kejujuran."
"Dan ujung-ujungnya," Husen menambahkan, "kalau pemasukan seret, yang dikorbankan duluan siapa? Bukan AC. Tapi idealisme."
Yani tertawa getir. "Makanya aku mikir, harusnya ada dua divisi. Satu divisi marketing, yang ngurus brosur, iklan, dan segala upaya menarik calon murid. Satu lagi divisi pendidikan, yang isinya orang-orang gila: guru, kepala sekolah, pustakawan, konselor. Biar mereka fokus, nggak saling ganggu."
"Kayak dapur sama kasir di restoran," celetuk Husen. "Yang satu urus masakannya enak, yang satu urus keuangan. Tapi jangan sampai tukang masaknya disuruh ngitung kembalian, bisa-bisa rawon dikasih saus tomat."
Yani tergelak. "Atau guru disuruh bikin konten TikTok sekolah demi branding, padahal belum sempat koreksi PR muridnya."