Pagi itu, Kamila Husnia terbangun oleh harum semerbak bunga melati yang ibunya taburkan di pojok kamar. Udara pagi menyusup lembut melalui jendela yang terbuka setengah, mengusung aroma tanah basah sisa hujan semalam. Hari ini istimewa. Hari Pendidikan Nasional.
Kamila menatap cerminnya. Kebaya putih brokat dengan sulaman bunga biru langit telah disetrika rapi. Dia memegangnya dengan hati-hati. Jarinya meraba halusnya kain, dingin dan agak kaku karena kanji. Ia ingat pesan Bu Laskmi di grup WhatsApp semalam: "Besok semua siswa perempuan memakai kebaya tradisional. Yang laki-laki kalau tidak ada baju adat, boleh memakai batik."
Di ruang tamu, aroma sayur lodeh dari dapur menyeruak. Ibunya memasak lebih awal hari ini.
"Makan dulu, Nak. Jangan sampai pingsan pas upacara," ucap sang ibu sambil meletakkan sepiring nasi dan tempe goreng di meja. Suara menggoreng yang gemeretak dari dapur berpadu dengan alunan Hymne Guru dari radio tua. Kamila menyuapkan suapan pertama---gurih tempe goreng dan hangatnya sayur lodeh langsung memberi tenaga.
Di sekolah, lapangan sudah ramai. Siswa-siswi berdatangan dengan pakaian tradisional penuh warna. Ada yang memakai baju adat Lampung, ada juga yang memakai baju adat Jawa, Sunda, bahkan Bugis. Derit sepatu pantofel bertemu langkah sandal selop, menyatu dalam irama pagi yang semarak.
Seketika genderang bedug mini ditabuh, menandai barisan harus bersiap. Kamila berdiri di tengah barisan kelas 8F, diapit oleh Gendis dan Naura. Matahari pagi mulai hangat membelai pipinya, menyusupkan kilau emas ke permukaan kebaya yang ia kenakan. Butiran keringat mulai mengalir, namun semangatnya tidak surut.
Ketika kepala madrasah, Bapak Hartawan, memberi pidato, suara beliau terdengar mantap dan menyentuh.
"Anak-anak, Hari Pendidikan bukan hanya seremoni. Ia adalah pengingat bahwa belajar adalah cahaya dan kebodohan adalah kegelapan. Mari jadi cahaya, sekecil apapun."
Tiba-tiba, suara lirih terdengar di belakang Kamila. Seorang siswa tampak pucat dan lemas. Kamila spontan menoleh, lalu membisikkan ke Gendis, "Tolong ambilkan air di UKS." Ia membantu siswa itu duduk di tepi lapangan, dan kain kebayanya yang lembut digunakan untuk membuat angin.
Setelah upacara, Kamila melihat grup WhatsApp kelas 8F kembali ramai. Nama-nama peserta didik yang sudah mengisi Google Form dicantumkan satu per satu. Ia pun segera menambahkan namanya:
"23. Kamila Husnia -- sudah isi bersama ibu tadi malam."
Saat pulang, jalanan dipenuhi anak-anak dengan kebaya dan batik. Angin siang mengibarkan kain selendang tapis milik Zaskya, membuat debu di jalan menari. Aroma es cendol dari pedagang pinggir jalan menggoda hidung. Kamila dan teman-temannya tersenyum, menikmati rasa manis dingin cendol yang menyegarkan usai hari yang penuh makna.
Di rumah, Kamila menuliskan catatan kecil di buku hariannya:
"Hari ini aku belajar, pendidikan tidak hanya ada di dalam kelas. Ia hidup dalam kepedulian, budaya, dan semangat kami sebagai pelajar."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI