Di banyak sekolah, kita sudah lama mendengar istilah "sedekah nilai". Rapor yang dikatrol, ujian yang penuh kompromi, bahkan standar kelulusan yang dibuat lunak demi menjaga citra sekolah. Semua itu menjadi rahasia umum yang jarang disentuh serius oleh kebijakan.
Kementerian sebenarnya tahu praktik ini terjadi. Tapi jika berani mengusik, akan muncul histeria massal: protes guru, kegaduhan orang tua, dan ambruknya reputasi sekolah. Karena itu, jalan yang lebih aman adalah membuat Tes Kemampuan Akademik (TKA).
TKA Sebagai "Filter Darurat"
TKA diposisikan sebagai filter objektif: menguji kemampuan logika, numerik, dan verbal calon mahasiswa atau peserta seleksi. Namun di balik itu, ada fungsi yang lebih subtil: TKA menggantikan peran rapor dan nilai sekolah yang sudah tidak dipercaya sepenuhnya.
Dengan adanya TKA, kementerian bisa berkata: "Kami punya tolok ukur objektif." Padahal, itu juga sekaligus pengakuan tak langsung bahwa sistem penilaian di sekolah rapuh, rawan manipulasi, dan tidak konsisten.
Menghindari Histeria Guru dan Masyarakat
Bayangkan jika kementerian berani mengaudit rapor atau menuntut standar ujian yang ketat. Ribuan guru bisa merasa terancam. Orang tua murid pun bisa marah karena anak-anaknya tiba-tiba dinyatakan tak layak.
Hasilnya: lebih aman menciptakan tes baru ketimbang membongkar "borok lama" di sekolah. Dengan begitu, tidak ada guru yang merasa disalahkan, tidak ada sekolah yang kehilangan muka, dan kementerian tetap punya instrumen seleksi.
TKA Sekolah Lama vs TKA Sekolah Rakyat
Namun cerita TKA tidak akan berhenti di sini. Ada dugaan kuat, dalam 2--3 tahun mendatang, kementerian akan membandingkan hasil TKA siswa sekolah lama dengan siswa Sekolah Rakyat.
Jika prediksi ini benar, maka TKA akan menjadi "senjata" pembuktian. Ketika skor TKA siswa Sekolah Rakyat lebih baik, itu akan dijadikan argumen bahwa: