Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Catatan untuk Seorang Sahabat| Mengenalmu

25 Februari 2017   18:41 Diperbarui: 25 Februari 2017   18:49 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mengenalmu. Minggu pertama bekerja di salah satu kantor pemerintahan di Jakarta, kota yang tak pernah tidur, kata orang. Aku masih ingat. Waktu itu seorang wanita yang tengah hamil muda datang ke ruangan dimana kami para staff baru berkumpul. Menanyaiku dan meminta untuk ikut rapat tim siang nanti.

Kesan pertama, biasa saja. Kamu tak terlalu ramah namun juga tidak ada kesan sombong atau angkuh. Rapat siang itu menjadi saksi kecanggunganku. Maklum, aku memang tidak mudah menyesuaikan diri. Butuh waktu untuk bisa memahami orang lain. Sudah karakter dari sananya. Aku pertama kali dapat map kuning darimu. Soenarso. Kamu tidak terlalu detail mengajariku cara mengerjakan map berisi laporan itu. Kamu hanya berikan beberapa file berisi contoh.

Kita berteman dan kominikasi layaknya rekan kerja biasa. Tidak terlalu mengenal pribadi masing-masing. Apalagi ruangan kita berbeda, bisa dipastikan, jarang interaksi. Pertama kali kita bercerita agak panjang adalah waktu dalam perjalanan monitoring UN SMA kalau tidak salah. Bersama Pak Agus waktu itu. Aku tidak ingat persisnya. Tapi entah bagaimana awalnya, cerita kita mengalir begitu saja.

Tentang seseorang yang tidak suka dengan aku karena aku banyak diam. Tentang uang perjalanan dinasku yang selalu dipotong, termasuk waktu pertama kali investigasi ke sebuah apartment di sekitaran Jakarta.

“Ah, kalau soal uang, tak usah khawatir, Mba. Kalau dia mau ambil sesuatu yang bukan haknya, biarlah itu jadi urusannya kelak. Yang membuat aku kaget adalah kritikan dia di belakang tentang aku yang tidak banyak bicara. Aku minta maaf. Aku hanya tidak mau bicara sesuatu yang belum kupahami. Takut malah konyol. Makanya aku lebih baik mengamati dulu. Kalau dia tidak suka orang yang seperti itu, ya maaf. Aku tidak pandai mengambil hati orang. Tapi mestinya dia mengajariku. Bukan mengataiku di belakang tanpa memberi solusi. Pemimpin itu fungsinya bukan untuk menjatuhkan, melainkan membimbing, iya kan?” jawabku seraya tersenyum.

“Ya, tapi begitulah karakter dia. Aku sudah hafal. Tapi memang aku tidak mau terlalu menentang dia. Malas ribut. Aku juga pada awalnya mengalami sepertimu. Dipotong uang dinas. Tak tanggung-tanggung. Kami pernah dimintai 2 juta karena uang dari kantor belum ada. Setelah cair, eh malah yang ia berikan hanya 1 juta. Bukannya dapat uang dari perjalanan dinas itu, kami malah rugi 1 juta. Dulu ada teman yang terang-terangan menentang dia, protes soal uang, tapi kemudian ia didepak dari tim. Dia tidak suka dengan orang yang menentangnya,” katamu panjang lebar.

Well, sejak saat itu rasa sungkanku padamu mulai berkurang. Tidak lagi terlalu kaku. Tapi ya tetap biasa saja. Kita hanya komunikasi soal kerjaan.

Bahkan waktu pertama kali dinas keluar kota dan menginap. Ke Lombok waktu itu. Dua kali dalam waktu yang berdekatan. Pertama, bersama pimpinan untuk binwas. Waktu kembali ke Jakarta, kita sama-sama naik Damri ke Pasar Minggu karena aku langsung kuliah di Depok. Namun di bus itupun kita duduk terpisah. Entah mengapa. Meskipun selama di Lombok itu banyak juga hal-hal baru tentangmu yang masih kuingat hingga sekarang. Mulai dari ketakutanmu soal makhluk tak terlihat, kebiasaanmu menanyaiku jam berapa saat tidur, ketidaksukaanmu pada salah satu Kaper waktu berceramah panjang lebar di Bandara, karaoke di Happy Family, dan banyak lagi. Terimakasih untuk moment itu.

Kemudian kita ke Lombok lagi. Malam sebelum pulang ke Jakarta, aku mulai kurang sehat. Pilek dan sedikit demam. Ditambah lagi kena angin malam karena Pak Kaper mengajak jalan-jalan ke pantai. Besoknya Bandara di Lombok tutup karena Anak Gunung Rinjani meletus. Jalur perjalanan pulangpun berubah. Harus ke Bali dulu naik kapal, dari Bali naik pesawat ke Jakarta. Yang membuat aku terharu adalah: sepanjang perjalanan itu aku merasakan perhatianmu. Berulang kali menanyaiku apakah aku sanggup melanjutkan perjalanan. Menawariku membeli obat bahkan memberikan jaketmu buat kupakai. Tiba di Jakarta mengingatkanku agar istirahat karena minggu depannya akan berangkat lagi ke Makassar. Terimakasih untuk moment itu.

Waktu aku di Makassar, kamu sibuk mengurusi ujian pengangkatanku. Menjelaskan ke Pimpinan bahwa aku sedang dinas dan meminta agar aku bisa susulan. Sekali lagi hatiku haru. Aku mulai merasakan ketulusanmu. Terimakasih untuk moment itu.

Setelah itupun sebenarnya biasa saja. Apalagi aku, memang orangnya sungkan dan kaku. Komunikasi kita hanya seputar kantor dan kerjaan. Termasuk ketika kamu mengingatkanku agar mempertimbangkan soal perpindahanku ke tim QA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun