Sebagai salah satu orang yang aktif di Aspermigas (Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas) akhir-akhir ini saya banyak sekali mendengar soal keluhan Peraturan Menteri ESDM No.8 tahun 2017, yang efektif berlaku mulai 16 Januari 2017 walaupun kemudian ada permen ESDM No 52 tahun 2017 namun tidak mengubah banyak jiwa dari Permen No.8 tahun 2017.
Peraturan ini sangat menghebohkan di kalangan pengusaha migas dan diestimasi oleh banyak pengamat membuat investor migas juga kabur karena peraturan ini justru "contradictio in terminis" terhadap harga minyak yang amat fluktuatif itu.Â
Dalam peraturan ini seakan akan pihak pemerintah bisa mengendalikan harga minyak dan langsung mengestimasi lalu berbagi hasil atas dasar estimasi yang seakan akan sudah dipastikan itu, padahal sudah jadi hukum besi dunia minyak Internasional harga tidak bisa dikendalikan, semua bergantung dari dialektika dan dinamika dunia internasional.
Peraturan yang digagas Archandra Tahar dikenal sebagai "Gross Split" menggantikan peraturan Production Sharing Contract (PSC) berupa 'cost recovery'.
Yang bikin saya tersentak dalam peraturan ini selain tidak masuk akalnya peraturan ini dalam logika para pengusaha migas, juga harus menjadi perhatian para pengambil keputusan negara, peraturan ini justru amat berlawanan dengan konstitusi negara kita soal Sumber Daya Alam.Â
Dalam konstitusi kekayaan sumber daya alam harus sepenuhnya dibawah kendali negara, sementara dalam pokok pokok peraturan menteri ESDM soal Gross Split justru melepaskan tangan negara kepada para pemain pemain bisnis migas tanpa kendali.
Argumen dari Archandra Tahar dalam peraturan menteri Gross Split sepertinya 'ambil gampang' dan tidak ambil pusing dalam soal migas di Indonesia tentunya ini secara jangka panjang sangat berbahaya untuk pendapatan negara dari migas dan kedaulatan negara atas kendali industri migas di Indonesia.
Menurut alam pikiran Archandra yang menjadi dasar dari argumen kebijakan Gross Recovery, biaya cost recovery terus meningkat dan di tahun 2015 melebihi permintaan negara. Sistem pengawasan cost recovery tidak efektif dan rawan KKN sehingga ada biaya biaya yang seharusnya ditanggung negara malah dibebankan ke negara, dan terakhir dari dasar argumen ini penerimaan negara menjadi tidak pasti.
Persoalan industri Migas di Indonesia tidak semudah itu, memang secara jangka pendek kebijakan Gross Split memudahkan negara dan memberikan kepastian penerimaan negara. Padahal kebijakan itu mustahil diterapkan karena "siapa yang bisa memastikan harga minyak esok hari?"
Seperti kilang minyak Saudi Aramco diserang 10 drone yang akibatnya produksi terpangkas sampai 50% atau 5 juta barrel/hari harga minyak melonjak 10% lalu recover ke harga sebelumnya, ini gambaran betapa fluktuatifnya harga minyak dunia dan tidak bisa dipastikan.
Dasar-dasar argumentasi Archandra Tahar sebenarnya sangat mudah dipatahkan dengan argumen dasar logika migas dengan dasar prinsip konstitusi UUD 1945 tentang kendali negara dan hukum besi harga minyak:
- Tidak ada yang bisa mengendalikan harga minyak dunia, termasuk pemerintah Indonesia.
- Adanya revisi aturan Gross Split menunjukkan pengambilan kebijakan yang amat strategis dilakukan dengan cara sembrono dan berantakan dari sisi strategis perencanaan kebijakan. Keputusan 'Slordig' ini menjadi banyak perhatian para investor karena dinilai para pengambil kebijakan tidak memahami secara detil akibat di lapangan.
- Keputusan ini juga menyiratkan gaya-gaya tersembunyi "adanya kepentingan yang tak bisa terlihat" untuk menggembosi kendali negara atas migas. Dengan memanfaatkan ketidakpercayaan pada aparatur negara. Ini sama saja menghina 'reformasi birokrasi' Presiden Jokowi. Padahal nilai --nilai dari reformasi birokrasi Jokowi adalah menciptakan aparatur negara yang bebas KKN sehingga fungsi dan tujuan negara tercapai. Fungsi kebijakan kekayaan negara untuk diarahkan kepada saluran saluran fungsi sosial adalah "tujuan utama" dari Reformasi Birokrasi yang didesain Presiden Jokowi.
- Peraturan ini dibikin untuk 'main cari mudah' saja dalam mengelola industri migas dan melepaskan hakikat terpenting dalam sumber kapital dunia migas Indonesia yang harus dibawah kendali pemerintahan.
- Gross Split menjadi mainan bisnis para perusahaan migas karena "dari awal sudah tahu bagiannya" jika mau dapat untung lebih banyak maka dikelola bagian yang dimiliki kontraktor KKS. Ini juga menjadi pokok persoalannya tidak akan ada yang mau ambil resiko soal 'eksplorasi' karena semuanya mau yang pasti pasti saja.
Watak Kedaulatan Energi Migas Presiden Sukarno
Tak ada yang lebih bisa menjelaskan kedaulatan migas Indonesia, kecuali kebijakan Presiden Sukarno di tahun 1960. Kebijakan yang berpotensi membuat Indonesia Kaya Raya atas sektor migas dan membuat kalang kabut para kapitalis migas dunia serta negara negara imperialis barat yang melakukan penjarahan dengan aturan manipulatif yang menguntungkan secara sepihak bagi kekayaan asing.
Pihak negara hanya mengandalkan tax saja tapi kendali tidak ditangan negara. Oleh Presiden Sukarno semua itu direbut dengan aturan kebijakan Kontrak Karya No.44/PRP/1960 dimana negara menguasai secara penuh sektor migas Indonesia.
Disinilah kemudian masa keemasan migas Indonesia dimulai namun juga berakibat pada banyak permainan intelijen asing yang menjatuhkan Presiden Sukarno karena kebijakan ini dan berujung pada Gestok 1965 serta dihancurkannya hidup Bung Karno yang berakhir tragis di internir Wisma Yaso karena membela kedaulatan kekayaan negara salah satunya di sektor Migas.
Di tengah perjalanan waktu dan dinamika politik juga soal kesadaran sejarah kapital di Indonesia, kebijakan Energi dan Sumber Daya Minyak (ESDM) harusnya mengacu pada kebijakan politik Bung Karno yang menempatkan kendali negara atas kekayaan negara sepenuh penuhnya kemudian dimanfaatkan pada rakyat banyak, bukan kemudian diserahkan secara total pada kendali asing dengan alasan pragmatis dan sangat jangka pendek seperti "Gross Split" ala Archandra itu.
Menurut pandangan saya, kontroversi soal "Gross Split" yang terbesar adalah "pengkhianatan konstitusi UUD 1945", Jiwa dari aturan Migas 1960 adalah pasal 33 dengan konsepsi utamanya "Kemandirian Bangsa". Dengan adanya Gross Split, justru malah memberikan lahan lahan produktif migas pada investor asing tanpa kendali negara, sementara di sisi lain kebijakan ini juga membuat investor banyak melarikan diri karena merugikan mereka.Â
Jadi ini kebijakan konyol dan jauh lebih lucu daripada Srimulat, di sisi lain membuat negara melepaskan kendali atas sektor migas, di sisi lain investor kelabakan karena tidak bisa memastikan berapa gross split atas perkiraan harga minyak, sehingga main ambil mudahnya saja yaitu menggarap ladang ladang yang sudah jadi, dan ini menjauhkan dari semangat 'eksplorasi' atau mencari ladang ladang minyak baru, padahal 'eksplorasi minyak bumi di Indonesia' menjadi perhatian utama Presiden Jokowi.
Terang saja aturan baru ini menimbulkan semacam kemarahan dari banyak pihak terutama mereka yang berpengalaman dalam sektor migas. Seperti Arifin Panigoro, John Karamoy dan mantan menteri minyak legendaris jaman Orde Baru, Subroto yang mengerti sekali soal bisnis migas di Indonesia.Â
Intinya bila kebijakan Gross Split ala Archandra ini tidak dievaluasi akan terjadi dampak yang amat buruk terhadap industri migas di Indonesia, seperti kutipan Arifin Panigoro di Tempo.co pada kamis (10/10):
"Saya kira sistem ini harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang tidak akan tertarik.Bagaimana bisa menaikkan produksi?".
Bagaimanapun Arifin Panigoro orang yang amat berpengalaman dalam industri migas, kekhawatiran ini tidak bisa dianggap sepele karena bila ini diabaikan, industri migas kita akan mengalami bencana.
Yang perlu diperhatikan lebih dalam lagi adalah masih hijaunya Archandra dalam memahami seluk beluk dunia migas Indonesia dengan melihat kebijakan Gross Split yang diambilnya ini dan juga watak terburu-buru Jonan dalam memahami industri migas di Indonesia, ini menjadi sinyal buruk bagi Kabinet Jokowi Jilid II bila kebijakan yang amat strategis soal industri migas nasional.
Persoalan ini juga harus diperhatikan oleh para kekuatan politik di Indonesia untuk secara bersama-sama duduk dalam memahami persoalan Migas di Indonesia dan mengajak kembali kepada semangat Presiden Sukarno untuk menguasai sektor migas dalam logika-logika kepemilikan negara dan kedaulatan yang lebih besar.
Restrukturisasi ESDM di Kabinet Jokowi Jilid II selain mengevaluasi kebijakan 'Slordig' Jonan dan Archandra juga menyadarkan soal ada 'pesan dari masa lalu' soal UU Migas 1960 yang amat berkedaulatan penuh itu.
Muhamad Doris
Peneliti dan Pengamat Energi Nasional