Pengalaman perdana terbang dengan Susi Air yang dikemudikan oleh Pilot, Mr Richardo dari Brazilia & Mr Andew dari England sebagai Co Pilot, sungguh perjalanan yang sensasional bagiku.
Sebagai provincial saya mesti melihat lokasi, apakah karya yang akan dijalani para susterku di area baru dapat berjalan, bahkan berbuah nantinya?
Maka untuk ini saya mesti berani blusukkan didaerah pedalaman maupun wilayah Kecamatan atau Kota yang ditawarkan oleh Uskup yang meminta tarekat kami untuk berkarya.
Kali ini saya mengadakan perjalanan ke pedalaman Merauke, tepatnya didaerah Mindiptana. Didampingi Bapa Uskup Merauke hari itu kami terbang dari Merauke menuju pedalaman Mindiptana. Nampak dari awak pesawat, mega gemawan nan begitu indah disaput langit biru cerah, sementara di dibawah sana terlihat lebatnya hutan nan menghijau dan tanah yang menyimpan kekayaan alam, dibelah sungai besar nan meliuk indah.
Perjalanku ini untuk melihat lebih dekat bumi Papua khususnya Wilayah Keuskupan Agung Merauke, dimana memungkinkan SND = Soure de Notre Dame, dapat berkarya.
Perjalan 1 jam15 menit membawa pesawat Capung yang hanya cukup dinaiki maksimal 12 orang ini mendarat dengan mulus di landasan bumi Mindiptana. 3Suster PRR ( Puteri Renya Rosari ) Sr Maria Seline, Sr Alfonsa, Sr Godelifa beserta anak-anak asrama puteri serta Romo Widi MSC & Romo Melky MSC menjemput kami, bersamaan dengan kami ada dokter yang bertugas disini dan dijemput dengan ambulance, senangnya anak-anak asrama bisa ikut numpang di ambulance, kami para suster dan beberapa anak naik di jeep dan Bapak Uskup membonceng sepeda motor yang siap menembus jalan berlumpur. Perjalanan konvoi menembus lumpur diiringi canda ria.
Mindiptana adalah sebuah kecamatan yang tertata rapi, disana ada Bank BRI, Kantor Pos didekat gereja Katholik Kristus Raja dan Pusat Kevikepan di jalan Misi No:1. Sore itu kami keliling, dilanjutkan pagi harinya, setelah Misa pagi, dan sarapan kami mengunjungi sekolah SD, SMP, SMA YPPK ( Yayasan Pendidikan & Persekolahan Katolik ) dan Asrama Putera.
Di perjalanan kami bertemu banyak umat, serta para anggota TNI yang kebanyakan dari Jawa dan bertugas disana. Terjadi gotong royong dan kerjasama yang baik antara para religious, TNI dan Umat, misal Poliklinik milik Para suster PRR dibangun oleh TNI, juga kebersihan kebon yang cukup lebat selalu menjadi sasaran untuk kerja bakti mereka.
Pada umumnya di Papua sangat subur dengan hutan buah-buahan, Durian, Rambutan, Nangka. Saking banyaknya penduduk setempat kalau memanen Rambutan pohonnya ditebang begitu saja. Demikian juga ikan air tawar & ikan laut berukuran jumbo,amat besar disbanding di Jawa.
Jika malam tiba kami rekreasi dengan main kartu, sambil bercanda tawa, ngobrol. Tak ketinggalan seorang Komandan TNI juga ikut bergabung, sementara diluar sana terdengar pentas seni dari Para Mudika yang mencari dana.
Namun kali ini ditempuh lebih dari 8 jam. Saya hanya menurut saja apa yang dikatakan oleh para Suster dan Romo, bahwa saya mesti mengenakan short ( Celana pendek, habyt kerja dan apron) dan tanpa kasut pun sandal. Saya belum bisa membayangkan seperti apa jalan yang akan kami lalui.
Semua sudah diatur, 3 orang yang akan mengantar kami dengan naik motor, Bp Syamsyudin yang paling ahli menembus lumpur yang nantinya akan memboncengkan saya, Moses memboncengkan Bapak Uskup, dan Anjasmara membawa barang yang sudah ditata rapi dalam kerobong agar tidak kena lumpur.
Setelah kami mengadakan salam perpisahan dengan para Romo dan Para Suster, mulailah Bp Syamsudin beraksi memboncengkan saya berangkat duluan. Dengan posisi duduk kangkang seperti biasanya seorang pria membonceng, dalam keadaan seperti ini bukan kesopanan yang diutamakan tapi keselamatan. Bp Syam juga berpesan supaya saya memberitahu jika akan bergerak mengubah posisi duduk.
Setelah sepeda motor melaju dijalan yang beraspal lancar, Bp Syam selalu bercerita tentang tanah Papua dan pengalamannya menjadi murid Para suster. Dia orang Toraja beragama Islam tapi kental akan pengetahuan Katholik, karena murid para suster sejak SD, ceritanya lucu-lucu.
Sampailah pada jalan berlumpur saya diminta untuk tidak bergerak dan duduk manis. Dengan kakinya yang lincah dia menginjak gundukkan lumpur, motor masih melaju, tapi ditengah ada bagian yang begitu licin dan saya diminta untuk turun jalan kaki. Saya berjalan tertatih, menunggu kedatangan yang lain yang masih jauh.
Beginilah asyiknya jalan dilumpur yang licin, saya dengan tertatih tatih, sampailah diujung jalan. Melihat dari kejauhan Bapa Uskup juga turun dari motor dan berjalan mencari lumpur yang keras agar dapat dilalui, sementara Anjas berjuang mendorong motornya dibantu yang lain.
Dari 90 km kami menjumpai 9 bagian jalan berlumpur. Bahkan jika dihitung mungkin lebih 4 km kami harus berjalan di jalan berlumpur. Mengapa jalan begitu rusak? Karena selama ini jalan dilalui puluhan Truk dengan yang mengangkut tiang listrik besar, dalam program PIJAR 2018 oleh pemerintah, sedang saat ini cuaca tidak bersahabat, setiap hari hujan deras sehingga, jalan menjadi rusak berlumpur.
Pengalaman berjibaku dengan lumpur ini mengolah rasa batinku, dan banyak kejadian yang membuatku terkesima. Jika di kota besar mereka saling Salib, menyalib dan tidak peduli dengan sesamanya, disini sebaliknya, saling tolong menolong, saling mendorong motor, menarik truk,mobil lain dengan tali, mendahulukan mobil yang didepan supaya dapat berjalan, berbagi makanan dan minuman.dll.
Ketika kelelahan mendera, saya malu berkeluh ketika melihat seorang ibu menggendong bayinya serta menggandeng anaknya, sementara suaminya berjuang mendorong motornya menembus lumpur. Ketika kutanya akan kemana? Ibu itu menjawab :” Akan mengunjungi keponakannya yang akan sambut baru (Menerima komuni pertama didesa sebelah). Luar biasa perjuangan dan ungkapan cinta dan perhatian mereka, kepada saudaranya.
Saya juga bertanya kepada bapa Uskup: “Mengapa mengajak saya ditempat yang seperti ini ?”, Beliau menjawab : “ Supaya mengenal medan tersulit Papua, sebelum mengutus seseorang saya harus mengalaminya “ betul juga pikirku. Saya masih terus bertanya : “ Apa Mgr berpikir bahwa saya kuat & bertahan menempuh semua ini?, :” Ya saya yakin “, jawabnya yang disertai olokkan bahwa saya semakin gemuk dibanding dulu”.
SUMBER MATA AIR KEMBAR
Dipertengahan perjalanan kami singgah di Paroki di desa Autriop, disitu Romo Widi MSC menemukan sumber air, bertepatan Hari Pesta Salib Suci pada tanggal 14 September. Setelah jalan beberapa langkah ditemukan juga Sumber mata air kembar yang kandungan TDS nya hanya 4, kini disitu dibangun gua Maria nan artistic yang diapit sumber mata air kembar. Airnya manis dan segar, bening amat jernih. Konon sudah banyak yang sembuh dari penyakitnya dengan meminum air itu.
D itanah Papua, juga diberkati Sang Bunda dengan Air yang amat manis & segar. Semoga banyak umat yang disegarkan rohaninya dan disembuhkan badan dan jiwanya dengan berziarah di Gua Maria Cermin Kekudusan, yang tepatnya dilingkungi pepohonan nan ribun yang dibalut kain kotak-kotak tiga warna putih, hitam dan abu-abu seperti di pulau Dewata Bali.
Setelah sampai di Perbatasan Patriot kami dijemput oleh umat dengan mobil, masih ada jalan berlumpur yang harus kami lalui, bahkan lumpurnya separo tinggi mobil. Setelah mobil yang kami naikki berhasil menolong truk yang terjebak lumpur, sekarang gantian mobil kami yang diderek oleh mobil lain. Karena mobil yang kami tumpangi adalah mobil Bak terbuka dibagian belakangnya maka banyak orang yang ikut menumpang sampai di Tanah Merah.
Tuhan telah menganugerahi rahmat, melalui pengalaman keseharian hidup, agar cinta-Nya terasa senantiasa segar dirasakan dan disyukuri para hambaNya, bahwa kebersamaan, kegotong – royongan dalam perbedaan itu indah. Akhirnya kami sampai di Tanah Merah pkl 15.00 WIT. Menurut khabar dari teman yang tiggal disana kini jalan berlumpur itu sudah mulus dan Listrik berpijar sepanjang jalan, menerangi hutan belantara. Bapak Presiden Joko Widodo sungguh memperhatikan daerah paling Timor Indonesia yang belum terjamah, kini semakin ramah***
Oleh Sr. Maria Monika Ekowati SND