Celakanya, karena penarasian serupa itu, muncul  keyakinan bahwa amalan Ramadhan dan kebaikan selama bulan Ramadhan itu, akan berakhir di akhir bulan, yang ditandai dengan perayaan lebaran atau idul fitri.
Sekali lagi, idul fitri yang sejatinya, menjadi keberhasilan dalam meraih kemenangan dan perjuangan melawan hawa nafsu, malah menjadi symbol runtuhnya 'kesalehan' seseorang, Â yang kemudian kembali ke jalan 'sebenarnya'.
Paradoks. Ragam kegiatan Ramadhan ini, lebih menunjukkan sebagai sebuah dramaturgi. Kesalehan yang dibuat-buat, atau didramatir oleh setiap pelakunya. Â Hal itu, terindikasi, selepas Ramadhan usai, drama kesalehan itu berakhir, dan setiap orang kembali ke jalan-aslinya, jalan sebenarnya, yakni menjadi orang yang biasa lagi.
Di sinilah, kita melihat ada mitos Ramadhan yang krusial, yang sejatinya harus dihindari dan diwaspadai, eh, malah menjadi satu realitas kehidupan yang menyata dalam setiap tahunnya !
Bila dalam tulisan sebelumnya, kita mengatakan bahwa Ramadhan mampu meruntuhkan mitos, eh, dalam kasus ini, di Ramadhan ini pun, Masyarakat  menciptakan mitos yang baru. Sehingga, perilaku kita ini, seakan-akan 'keluar dari satu mitos dan masuk pada mitos berikutnya.."