Mohon tunggu...
Mokhsa Imanahatu
Mokhsa Imanahatu Mohon Tunggu... -

Pe'nafsu kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lebih dari Transgender Berkerudung

21 Januari 2016   21:14 Diperbarui: 21 Januari 2016   21:54 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi tak selamanya panas, hanya itu yang saya sesali. Hawa panas dalam kopi, ngebut buru-buru mendingin-meninggal. Apa jangan-jangan setan! Apa jangan-jangan malaikat! Panas setan yang keburu menggigil-adem dalam transformasi diri menuju angel-malaikat. Sudahlah, toh sudah dingin. Obrolan menghangatkan, setan setengah malaikat. Obrolan wetan-ngidul-kulon-ngalor suatu makam(malam-kelam) di pinggiran angkringan.

“Kawan saya di colek manja oleh sekelompok grup vokal bencong-banci-transgender, riuh dengan goyangan dan tampang yang striptis. Playlist: sakitnya tuh disini – cita citata.”

Dalam batin,”untung saya tak rupawan.”

***

Begitu, seperti ketakutan abadi ‘mengada’ diantara saya dan para transgender. Bimsalabim + bismillahirrohmannirohim, tertiba pudarlah ketakutan-kejijikan saya melalui mata dan percakapan di pinggiran Jogja sore itu.

Beliau akrab dipanggil Sinta. Pendiri “Pondok Pesantren Waria Al-Fattan.” Awalnya, sekedar lewat genggam telephone. Suaranya tenang, ramah sedikit medok. Saya masih takut. Berdua, dengan kawan sepenanggung. Kami membeli bensin dari timur tengah tuk menuju kediam-rumah-ponpesnya. Saya semakin takut.

Duar, deg, deg, deg. Seperti terlempar tiba-tiba, di depan kediam-rumah-ponpesnya. “assallammualaikum,” walau saya orang Indonesia, bukan orang Arab. Sepi-sepoy, tidak terlihat tanda-penanda-petanda. Kami coba masuk lebih dalam-radikal. Duar, banci-bencong-transgender berotot bersolek daster, dengan spatula di genggamnya.

“Ada apa mas,” tanyanya. ”Duduk dulu mas.” *suaranya seperti lelaki maskulin, tak ada yang beda.

Duduk, tunggu, waiting-room. Gelas kecil bening berisi kopi susu, tampak. Bu Sinta menampakkan dirinya. Berhidung mancung, bermata hitam-besar, berhijab. Wah. “Mari-mari silahkan,” ujarnya.

Kami mulai bercerita, bertanya, mengangguk-anguk, dan segalanya. Tenang, kalem, dan yang paling saya kagumi “percaya diri.” Tampak sekali, wah. Mulai dengan gempa pada suatu hari, yang membuat Jogja menangis. Para waria menangis. Sinta dan teman-teman waria, berdoa-mendoakan para waria yang ditikam gempa. Itu 2006.

Doa, memang tak masuk akal dan sembunyi-misteri. Selepas itu Sinta dan tema-temanya sering berkumpu, berdoa dan beribadah bersama. Terbentuklah Al-fattan, ruangan yang sangat terasa daya spiritualnya. Bayangkan, ruangan ini merupakan tempat, dimana tangisan-harapan-kekhusukan waria dalam beribadah berkumpul. Auranya, wehhh. Al-fattan adalah rumah yang nyaman bagi waria yang rindu akan ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun