Mohon tunggu...
Mohammad Sidik Nugraha
Mohammad Sidik Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Textpreneur

Lahir dan besar di Bandung. Pernah rutin mengunjungi Perpustakaan Daerah Jawa Barat, bahkan sebelum jam buka dan pegawainya datang, karena ketagihan baca komik "Dragon Ball". Sejak 2007, berkecimpung di bidang penerbitan buku sebagai editor, proofreader, penerjemah, dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Penurunan Tanah yang Ekstrem di Jakarta Diakibatkan oleh Apa?

1 September 2016   13:09 Diperbarui: 1 September 2016   17:19 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Segawat apa ancaman penurunan tanah di Jakarta?” tanya seorang hadirin dalam acara bedah buku Ancaman Bawah Permukaan Jakarta: Tak Terlihat, Tak Terpikirkan, dan Tak Terduga (LIPI Press, 2015). Lantas, dia mengibaratkannya dengan tingkat kepedasan makanan, seperti keripik.

Pertanyaan itu dijawab oleh Prof. Dr. Robert M. Delinom dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), “Mungkin cabainya lima.” Bagi sebagian orang, makanan yang dibumbui lima cabai sepertinya tidak terlalu pedas. Namun, dalam hal penurunan muka tanah, level lima bisa jadi berarti gawat.

Selain Pak Robert, buku berjudul bombastis itu dibahas juga oleh dua narasumber, yaitu Ir. Bawa Sarasa, M.Sc. dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Prof. Lambok Hutasoit, Ph.D. dari Institut Teknologi Bandung. Sementara itu, Dr. Rachmat Lubis, yang merupakan salah satu peneliti sekaligus penulis buku ini, bertindak sebagai moderator. Diskusi digelar di Gedung LIPI Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (31/8/2016).

Para narasumber membahas buku
Para narasumber membahas buku
Perkembangan Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di Indonesia menyebabkan kebutuhan akan air bersih terus meningkat. Menurut Pak Robert yang menjadi pembicara pertama, hal ini mendorong pemanfaatan air tanah dengan menggunakan teknologi berupa mesin penyedot air. Hal senada juga disampaikan oleh Pak Bawa Sarasa yang menjadi pembicara ketiga.

“(Eksploitasi) air tanah sering dijadikan kambing hitam,” kata Pak Bawa.

Di layar (slide) lebar, Bawa memaparkan data kebutuhan air bersih 2015 di Jakarta mencapai 26.645,6 liter per detik atau 824.784.742 meter kubik per tahun. Dia membandingkannya dengan kemampuan Perusahaan Air Minum (PAM) untuk menyediakan 18.025 liter per detik atau sekitar 560 meter kubik per tahun (saya tidak sempat mencatat angka detailnya karena layar keburu berganti). Dapat disimpulkan, antara kebutuhan dan kemampuan ada selisih yang besar sehingga pengguna air bersih, baik dari kalangan industri maupun rumah tangga, mengambil air tanah dengan mesin penyedot.

Jenis tanah pun turut memengaruhi kondisi permukaan. Jakarta Utara bertanah lempung atau endapan sungai dan pantai sehingga penurunannya lebih cepat, sedangkan Jakarta Selatan yang bertanah vulkanik lebih stabil. Selain itu, naiknya suhu dalam tanah meningkatkan pencucian garam tanah yang memadatkan rongga lempung di bawah dan menyebabkan permukaan turun apalagi jika dibebani oleh pembangunan yang masif.      

Masih menurut Pak Robert yang diamini oleh Pak Lambok sebagai pembicara kedua, dari sudut pandang Geologi Teknik, penurunan muka tanah adalah hal biasa dan tanah Jakarta akan terus turun. Namun, lain lagi jika dilihat dari sisi antropogenik, yaitu dalam kaitan manusia sebagai penyebab kerusakan alam sekaligus yang akan merasakan akibatnya.

Oleh karena itu, ancaman  dari bawah tanah ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Para pembicara menyodorkan beberapa saran yang antara lain pembagian wilayah penjaga air tanah di selatan Jakarta dan penambahan daerah parkir air. Yang tidak kalah menantang, masyarakat perlu disadarkan tentang bahaya laten ini. Peraturan pemerintah daerah yang memihak pada kelestarian lingkungan perlu dibuat dan dilaksanakan secara konsisten. Bukan mustahil, seperti yang dialami Tokyo, kondisi air tanah Jakarta akan kembali normal.

Terlepas dari persoalan substansi data, buku berbentuk bunga rampai ini masih dianggap kurang padu. Kepala LIPI, Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain, sendiri yang mengatakannya.

“Benang merah pengikatnya masih kurang kuat,” kata Pak Iskandar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun