Mohon tunggu...
Mohsa El Ramadan
Mohsa El Ramadan Mohon Tunggu... Seorang jurnalis, tinggal di Banda Aceh.

Menulis adalah spirit, maka perlu sebuah "rumah" untuk menampungnya | E-mail: mohsaelramadan@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Darah dan Maksiat Undang Tsunami Aceh

1 April 2014   16:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:13 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_329441" align="alignnone" width="512" caption="Pascatsunami, seorang perempuan menangis di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh| Foto: www.waspada.co.id"][/caption]

Fazlun Hasan, Ketua Umum DPP Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA), mengulas balik terajutnya kisah perdamaian Aceh yang pelik dan unik. Kandidat senator dari Aceh ini bercerita bahwa hal yang paling ditunggu-tunggu masyarakat Aceh selam 32 tahun, apalagi kita sebagai eleman sipil, adalah perdamaian. Ya, perdamaian! Semua rakyat Aceh pada saat itu berdoa mengharapkan perdamaian cepat tercipta di Serambi Mekah.

Tetapi, kata Fazlun, sebelum perdamaian itu tercipta, Allah SWT terlebih dahulu mengirim bencana gempa dan tsunami yang maha dahsyat ke tanah pergolakan Aceh. Ketika itu pertumpahan darah tak tentu arah, tumpah berceceran bersama maksiat yang sangat luar biasa.

Selama konflik Aceh terjadi,  ribuan jiwa, khususnya masyarakat sipil, menjadi korban. Maraknya kejadian kriminal dan pelanggaran HAM, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran rumah-rumah penduduk, sekolah dan fasilitas umum lainnya serta lumpuhnya pemerintahan.

Menurut catatan Kontras Aceh, sepanjang tahun 2000 sedikitnya 1.632 orang menjadi korban kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan penculikan. Sedangkan pada tahun 2001 berdasarkan laporan Kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh tercatat 1.542 orang tewas, 1.017 orang luka-luka dan 817 orang hilang secara paksa, ditahan, diculik.

Berbagai upaya perundingan dan penyelesaian gagal mewujudkan perdamaian permanen di Aceh. Dari “Jeda Kemanusiaan I dan II pada 2000-2001” di era Presiden Abdurrahman Wahid hingga “Perjanjian Penghentian Permusuhan (COHA) pada 2002-2003” di masa Presiden Megawati Sukarnoputri.

Gagalnya kesepakatan damai di Swedia itu, kemudian, mendasari diberlakukannya Keadaan Darurat Militer di Provinsi Aceh pada 18 Mei 2003 melalui Keppres No. 28 Tahun 2003. Jakarta menetapkan seluruh Provinsi Aceh dalam keadaan bahaya dengan status Darurat Militer.

Sejak itu, konflik Aceh terus "bernyawa" hingga gempa dan tsunami pada Minggu pagi 26 Desember 2004, seakan mengirim alert bahwa perang saudara itu harus segera diakhiri.


[caption id="attachment_329442" align="alignnone" width="500" caption="Masjid Lampuuk, Aceh Besar, tetap kokoh berdiri meski diterjang tsunami 2004."]

1396319127685932809
1396319127685932809
[/caption]

Tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 m (98 kaki) ini menewaskan lebih dari 230.000 orang di 14 negara dan menenggelamkan banyak permukiman tepi pantai. Ini merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah. Indonesia adalah negara yang terkena dampak paling besar, diikuti Sri Lanka, India, dan Thailand.

Dengan kekuatan Mw 9,1–9,3, gempa ini merupakan terbesar ketiga yang pernah tercatat di seismograf dan memiliki durasi terlama sepanjang sejarah, sekitar 8,3 sampai 10 menit. Gempa tersebut mengakibatkan seluruh planet Bumi bergetar 1 sentimeter dan menciptakan beberapa gempa lainnya sampai wilayah Alaska.

Dengan musibah itu, cerita Fazlun, semua pihak akhirnya berpikir, menjadi iktibar. Adalah Pemerintahan Republik Indonesia yang telah mencanangkan beberapa kali perdamainan tapi gagal, ternyata dengan bencana ini perdamaian terjadi.

[caption id="attachment_329443" align="alignnone" width="523" caption="Fazlun Hasan bersama Muzakkir Manaf, Wagub Aceh yang juga Ketua Umum Partai Aceh "]

139631932067175375
139631932067175375
[/caption]

Aceh akhirnya merelakan diwakilkan dirinya kepada rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia bersiap-siap untuk melakukan perdamaian, juga Negara donor ternyata berkomitmen memberikan bantuan ke Aceh bila kondisi Aceh telah berdamai.

Terwujudnya penandatangan kesepakatan damai antara Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, memberikan harapan baru bagi masyarakat Aceh. Kesepakatan ini kemudian lebih dikenal dengan MoU Helsinki.

Menurut Fazlun, MoU Helsinki adalah konsesus politik yang telah melahirkan perdamaian. Konsesus politik itu juga melahirkan produk hukum Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Ini adalah sebuah hak bagi seluruh rakyat Aceh. Hari ini bagi segenap rakyat Aceh, jangan sekadar berharap kepada GAM yang sekarang diwakilkan oleh Partai Aceh (PA). “Tapi, mari kita semua rakyat Aceh bertanggung jawab untuk meneruskan MoU Helsinki itu.”

“Kawan-kawan Pers saat itu, ketika saya pulang pascaperdamaian bertanya kepada saya, dan saya sampaikan bahwa hari ini Aceh terkotak-kotak. Tiga bulan kemudian muncullah wacana pemekaran Propinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat-Selatan (ABAS) yang meminta pisah dengan Aceh. Saya katakan boleh-boleh saja karena itu hak aspirasi anak bangsa. Tetapi ada yang lebih penting selaku anak bangsa saat ini, selesaikan dulu UUPA yang belum diberikan sepenuhnya oleh Jakarta,” kenang Fazlun Hasan.

Persoalan pemekaran Provinsi bukanlah persoalan besar, ketika satu Wali (Wali Nanggroe), Aceh bisa memiliki tiga gubernur, ini tidak tetutup kemungkinan.

Alangkah sedihnya kita, kalau harus terus bertengkar sesama. Mari kita selesaikan dengan kepala dingin persoalan politik Aceh dengan Jakarta, baru kemudian kita memberikan ruang berekspresi, apapun yang ingin kita lakukan nantinya dengan satu cita-cita, Aceh satu. “Allah SWT akan menurunkan murkanya kembali ke bumi Aceh jika kita masih dengan situasi seperti ini,” katanya.

Siapa Fazlun Hasan?

Lelaki dendi (perlente) ini begitu akrab dengan warna hitam dan putih. Ketika seorang jurnalis menanyakan kegemarannya menggunakan dua warna yang selalu melekat di hampir setiap penampilan dan uniform organisasinya, itu dengan santai ia bilang, “hidup ini tidak ada istilah abu-abu, semua harus jelas: hitam atau putih.” Begitu palsafah seorang Fazlun, tegas dan jelas.

[caption id="attachment_329445" align="alignnone" width="522" caption="Fazlun Hasan, Ketua Umum FOPKRA "]

1396319449964288111
1396319449964288111
[/caption]

Ya, lelaki bernama lengkap Fazlun Hasan ini, memang, tengah menjadi perhatian banyak orang. Pemikiran dan langkah-langkah politiknya sering mengejutkan dan tak bisa diduga. Apalagi Fazlun sosok yang santun, cerdas, bersahaja, ramah, dan murah senyum. Tapi, belakangan, aktivis satu ini lebih mirip selebritas: foto dan namanya mejeng di mana-mana dan selalu diperbincangkan khalayak.

Jika dahulu orang mengenal Fazlun cuma lewat pemberitaan media karena aksi-aksinya memperjuangkan Aceh di Jakarta, kini sudah bisa bertegur sapa langsung. Bertemu di tempat dia bermukim sementara di Jalan Syiah Kuala, misalnya, atau di warung-warung kopi, di masjid, di tengah keramaian kampanye Partai Aceh, dan di posko pemenangannya kawasan jalan T. Nyak Arief Banda Aceh.

Maklum, sejak Fazlun berjuang menarik simpati rakyat di seluruh Aceh untuk bertarung menuju kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilihan Umum Legislatif 9 April 2014, ia harus stay di Banda Aceh. Rumah sementara Fazlun tak pernah sepi apalagi posko relawannya. Di tempat itulah Fazlun menampung segala aspirasi konstituennya lewat pertemuan dan diskusi-diskusi kecil.

Di rumoh rayeuk itu pula silaturrahmi dan keakraban dibangun oleh Fazlun Hasan dan tim suksesnya. Antara masyarakat dan mereka seperti tak berjarak karena posko itu dibuka untuk siapa saja, tak terkecuali tim-tim sukses calon anggota DPD-RI lainnya. “Kami menawarkan program, bukan menebar permusuhan. Rakyat kita sudah pintar, biarlah mereka yang menentukan pilihannya,” kata Fazlun.

Apa saja program-programnya? Ini dia visi misi Fazlun Hasan! Membangun Aceh dengan Aqidah; Mempersatukan Elemen Sipil Aceh; Reformasi Pendidikan Dayah yang Bertaraf Internasional; Membangun Kembali Peradaban Aceh ditataran Gampong dengan Filosofi Meunasah (Meunasah merupakan tempat ibadah serbaguna, memnyentuh semua elemen, tempat pemersatu masyarakat, sumber informasi dan kegiatan lainnya).

“Hanya Dengan aqidah yang kuat Aceh bisa aman, tenteram, sejahtera, dan bermartabat. Tanpa itu, semuanya omong kosong belaka,” tegas Fazlun.

Siapa sebenarnya Fazlun Hasan? Jika ditelusuri riwayat keluarganya, di tubuh Fazlun Hasan masih mengalir titisan “darah biru” Putri Saribanun, keluarga kesultanan Aceh. Suami dari dokter Marini Sartika Dewi, ini lahir di Desa Gampong Mulia, Kota Langsa, pada 4 April 1964. Rupanya, lama hidup di Jakarta tak menyurutkan semangat Fazlun untuk membela tanah indatu-nya ketika Aceh didera konflik multi kepentingan.

Pergerakan demi pergerakan ia lakukan demi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat Aceh lewat lembaga yang kemudian diberi nama Forum Perjuangan Keadilan Rakyat Aceh (FOPKRA). Meski nama ini masih asing di telinga orang Aceh, bagi Jakarta, FOPKRA cukup tenar lewat aksi-aksinya menentang ketidakadilan.

Tentang FOPKRA

FOPKRA didirikan pada Agustus 1998, kala itu berstatus presidium. Pada 15 Maret 1999, FOPKRA didaftarkan ke Notaris dan disahkan sebagai lembaga Ormas yang berkekuatan hukum. FOPKRA memiliki warna dan cara tersendiri dalam membantu dan mendorong penyelesaian konflik Aceh.

[caption id="attachment_329446" align="alignnone" width="521" caption="Lambang FOPKRA"]

13963195551617008001
13963195551617008001
[/caption]

Eksistensi dan pengaruhnya di Jakarta begitu terasa sejak berlangsungnya konflik Aceh  hingga saat ini. Ketika konflik bersenjata melanda Aceh, FOPKRA melakukan serangkaian kegiatan antara lain mensosialisasikan masalah Aceh ke berbagai lapisan masyarakat di luar Aceh.

Melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang berbasis masyarakat Aceh di Jakarta, melakukan audiensi dan dialog dengan KOMNAS HAM, Lembaga Tertinggi dan Pejabat Tinggi Negara, Perguruan Tinggi, Ormas Tingkat Pusat, LSM Nasional tingkat Pusat.

Di samping itu FOPKRA Pusat juga melakukan berbagai kajian secara akademik tentang usaha-usaha solusi damai masalah Aceh melalui diskusi, seminar, lokakarya dan lain-lain. Secara Internasional melakukan pendekatan diplomasi dengan Kedutaan Besar Negara-negara sahabat di Jakarta, perwakilan Lembaga-lembaga Internasional di Jakarta, LSM International dan Badan resmi dunia seperti PBB, Amnesty International, dan Komisi Hak Azazi Manusia.

Setelah MoU Helsinki, keberadaan FOPKRA dianggap masih tetap perlu ada di Jakarta dan Aceh, karena perdamaian yang sudah terwujud menjadi tanggung jawab rakyat Aceh secara menyeluruh.

FOPKRA berada di garis terdepan ketika rakyat Aceh berhadapan dengan Jakarta, untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Aceh yang sudah dibukukan dalam MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.

Perjuangan FOPKRA terakhir bisa dilihat ketika menggugat Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terkait jadwal pelaksanaan PILKADA ACEH 2012 bersama DPRA. Hasilnya, MK RI mengabulkan permohonan pemohon (FOPKRA dan DPRA) dan memerintahkan KIP Aceh untuk membuka kembali pendaftaran calon Gubernur/Wakil Gubernur Aceh dan Calon Bupati/Wakil Bupati serta Calon Walikota/Wakil Walikota untuk PILKADA Aceh 2012.

Itulah “spektrum” cerita tentang Fazlun Hasan, konflik, gempa dan tsunami Aceh, hingga FOPKRA nya. Sebagai nakhoda utama FOPKRA, kini Fazlun mencoba mengepak sayap bertarung merebut kursi senator di Senayan. Agar segala yang dia impikan, juga impian seluruh rakyat Aceh bisa terakomodir lewat lembaga terhormat itu. Anda sepakat dengan program-program Fazlun Hasan?

“Sembilan April bukanlah tentang saya, tapi tentang bagaimana masyarakat mampu menggunakan hak pilihnya dengan baik agar perdamaian Aceh tetap terpelihara, aman, tenteram, makmur, sejahtera, dan berakidah.” Kata Fazlun Hasan, calon DPD dari Aceh dengan nomor urut 12. Semoga!

Sumber Foto: Dokumentasi DPP FOPKRA.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun