Mohon tunggu...
Mohammad Faiz Attoriq
Mohammad Faiz Attoriq Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Kontributor lepas

Penghobi fotografi domisili Malang - Jawa Timur yang mulai jatuh hati dengan menulis, keduanya adalah cara bercerita yang baik karena bukan sebagai penutur yang baik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Indonesia Masih Memuja Nilai Akademik

24 Februari 2023   20:49 Diperbarui: 24 Februari 2023   20:56 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indonesia masih memuja nilai ketimbang proses belajar dan kejujuran. (Foto: Unsplash.com/Nguyen Dang Hoang Nhu)

Ada anggapan bahwa seorang siswa dikatakan cerdas apabila memiliki nilai matematika yang memukau.

Banyak yang belajar mati-matian demi nilai yang sempurna dan akan selalu melobi jika nilainya tidak sesuai dengan harapannya.

Waktu sistem ranking masih ada, banyak yang mengejar ranking pertama dengan belajar sungguh-sungguh.

Alasannya, biasanya kalau bukan bisa ikut cerdas cermat antar kelas saat class meeting juga ada kebanggaan tersendiri yang bisa dipersembahkan.

Nilai UN yang tinggi (waktu masih digunakan sebagai indikator kelulusan) juga menimbulkan rasa kebanggaan tersendiri selain mendapatkan penghargaan.

Di dunia perkuliahan, istilah 'mahasiswa ambisius' disematkan pada mahasiswa yang terlalu fokus untuk belajar demi nilai yang sempurna.

Nilai yang sempurna inilah yang bisa mendongkrak IPK, bahkan tidak ragu untuk komplain jika ada nilai yang kurang sesuai.

Tidak jarang, banyak kasus kecurangan dalam ujian, seperti mencontek atau menggunakan joki dalam berbagai tes.

Bukan bermaksud mewajarkan, melainkan logis saja apabila tumbuh suburnya budaya curang yang mengakar ini.

Mengapa? Karena sistem pendidikan Indonesia masih mengutamakan hasil alih-alih proses yang berjalan.

Bagaimana dengan kejujuran? Ini yang tidak dilihat sama sekali, padahal kejujuran jauh lebih penting daripada nilai.

Banyak pelajar atau mahasiswa yang berpikir untuk menghalalkan segala cara, yang penting nilainya memuaskan.

Bahkan, seleksi masuk sekolah atau perguruan tinggi menggunakan nilai sebagai indikatornya, bukan kecakapan saat tes.

Dunia kerja pun begitu, lowongan kerja selalu ada klausul 'IPK minimal 3,0' padahal apa yang diperoleh selama perkuliahan belum tentu bisa dipraktikkan seutuhnya.

Anggapan tersebut melahirkan stigma sosial kecerdasan diukur dari nilai di rapor atau IPK selama mengenyam kuliah.

Bahkan, masih ada orang tua yang membanggakan anaknya karena tidak ada nilai di bawah 80 di rapornya, bahkan adu banyak-banyakan nilai 90-an.

Nilai sebenarnya hanyalah pendekatan penilaian karena susah untuk menilai kecerdasan seseorang.

Coba untuk bertanya pada diri Anda sendiri, selama ini apakah Anda belajar untuk memperkaya wawasan atau hanya sekadar mendapatkan nilai bagus?

Ini akan memberi dampak pada masa depan Anda tentang apa yang telah dipelajari selama sekolah dan kuliah.

Ilmu akan bertahan lebih lama di pikiran apabila Anda belajar untuk memperoleh pengetahuan dan wawasan.

Jika belajar hanya untuk mengejar nilai, ilmu tersebut akan lenyap dari benak dan Anda akan mudah lupa.

Nilai pun masih belum bisa menggambarkan kecerdasan Anda secara akurat selain hanya sebagai pendekatan penilaian kecerdasan.

Ada yang memiliki nilai yang bagus, tetapi saat berdiskusi tentang bidang yang dinilai, dia kelabakan untuk menjawabnya.

Wajar jika mereka menilai orang tersebut mendapatkan nilai bagus melalui proses yang tidak jujur.

Tidak bisa dipungkiri bahwa hasil jauh lebih dihargai, sedangkan proses dan kejujuran justru diabaikan.

Ketidakjujuran dan menghendaki hasil dari proses yang super instan ini memberikan dampak yang tidak bagus.

Tindakan korupsi menjadi salah satu buah dari ketidakjujuran yang dipelihara selama menempuh pendidikan.

Mereka yang terbiasa untuk curang akan ketagihan melakukan kecurangan tersebut dan menjadi kebiasaan.

Ketidakjujuran atau kejujuran yang tidak dihargai sangat disayangkan, terlebih Indonesia sebenarnya negara yang berketuhanan.

Ada anekdot bahwa Indonesia tidak bisa maju karena tidak ada yang ditakuti, sama Tuhan saja orang-orang tidak takut.

Sungguh memalukan, paradigma salah ini seharusnya sudah saatnya untuk dikubur selama-lamanya.

Perlu bagi kita untuk mulai lebih menghargai proses dan kejujuran daripada nilai pada rapor atau situs sistem informasi akademik mahasiswa.

Dari kejujuran yang dihargai, orang tersebut sekaligus mengakui kelemahannya dan berkomitmen untuk memperbaikinya.

Lalu, orang tersebut berproses menjadi lebih baik, meski nilai masih belum membaik, tetapi setidaknya komitmen atau prosesnya sudah terlihat.

Penting sekali arti kejujuran dan proses ini dan akan sangat berharga sampai tua nanti agar membentuk orang yang menghargai proses dan tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun