Mohon tunggu...
Mohammad Salahuddin Al Ayyuubi
Mohammad Salahuddin Al Ayyuubi Mohon Tunggu... Guru Al-Qur'an Hadis, Anggota Forum Penulis Bacaan Anak (PaberLand)

Membaca, meneliti, mengajar, menginspirasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menulis Halus

23 Mei 2025   12:52 Diperbarui: 23 Mei 2025   12:52 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

#9 Catatan Harian Guru Pemula

Saya dulu pernah pada fase mengkritik apapun yang tak sejalan dengan pemikiran saya pribadi. Maklumlah, kritisisme masih membuncah dan harus segera didedah. Rupanya, sebagian tulisan itu jadi bumerang, berubah jadi senjata makan tuan. Mungkin pelajaran dari Tuhan agar saya tak tergesa-gesa menuangkan setiap isi pikiran. Pernah mengkritik krupuk sebagai jenis makanan di Indonesia yang paling nggak guna, eh belakangan malah ditakdirkan magang kerja pabrik krupuk selama hampir dua bulan sebab kepepet lagi butuh uang. Pernah mengritik (oknum) PNS yang banyak korupsi waktu, eh lantas ditakdirkan jadi abdi negara yang dihadapkan ada godaan seperti itu. Dulu sewaktu kecil pernah mempertanyakan kenapa harus dilatih menulis di buku halus, padahal tulisan bersambung atau latin sudah tak lagi relevan ke depan (bisa kebayang ya, saya seusia SD punya bakat pemikiran melawan arus seperti itu). La dalah, sewaktu kini sudah menjadi guru, saya merasa menyesal pernah mempertanyakan hal itu.

Mana sih yang lebih penting, tulisannya yang halus, atau bahasa tulisannya yang halus? Sama pentingnya. Baik tulisan ataupun bahasa tulisan seseorang menunjukkan kepribadiannya. Bedanya, pada alat pengukurnya. Kepribadian berdasar gaya tulisan diprediksi ilmu bernama grafologi, sedangkan kepribadian berdasar bahasa tulisan bisa pakai psikolinguistik, linguistik forensik, hingga NLP.

Baca juga: Guru Kehidupan

Beberapa kali saya mendapati siswa atau siswi aliyah yang tulisan tangannya masih setaraf ibtidaiyah. Masih terbaca memang, tetapi hal ini menjadi salah satu problem dasar di tengah gonjang-ganjing ganti menteri ganti kurikulum.

Masalah itu barangkali bermula dari maraknya penggunaan ponsel di kalangan anak usia sekolah dasar sejak satu dekade belakangan ini. Walhasil, anak sudah terbiasa bahkan lebih mahir mengetik lewat smartphone daripada menulis tangan. Hal itu ditunjang dengan makin jarangnya saya jumpai buku halus di toko-toko ATK. Buku yang bahkan di setiap toko kecil di kampung dulu menjadi item yang wajib ada itu kini sudah mulai langka. Kalaupun masih ada yang beli, sangat jarang dipakai, baik di sekolah maupun di rumah. Mengapa?

Materi yang harus dipahami anak usia SD saat ini banyak yang levelnya terlalu sulit. Jadinya, guru terforsir waktunya untuk menghabiskan materi itu, memastikan setiap anak bisa mencernanya. Baik yang ada di buku teks/paket, hingga di LKS sekalipun. Tuntutan utama kurikulum saat ini adalah "hanya" MENGISI jawaban dengan benar, dan sama sekali tak ada tuntutan MENULIS dengan baik, benar, dan bagus.

Memang, menulis halus tak lantas membuat tulisan anak jadi lebih bagus. Akan tetapi, itu melatih kesabaran, keuletan, ketelatenan. Hal yang berlawanan sama sekali dengan kebiasaan anak jaman now yang suka gular-gulir video singkat padahal tontonan satu belum selesai. Virus serba instan, apa-apa harus tersedia secara kilat dan harus bisa berhasil dengan cepat, adalah musuh bersama saat ini.

Ini baru menyangkut fisik tulisan, belum lagi tentang substansi isi tulisannya. Mungkin memang tak banyak siswa yang bisa menulis halus, tapi lebih sedikit lagi yang mampu menulis (dengan bahasa yang) halus. Sekali lagi, itu juga gara-gara virus serba instan itu. Bahkan aplikasi perpesanan mengatur agar pesan yang telah dikirim masih bisa diedit. Karena terkadang kecepatan jemari tak diimbangi kecepatan berpikir tentang apa yang sedang ditulis, dan apa konsekuensi dari tulisan itu bagi diri sendiri dan pembacanya.

Mau bagaimana lagi? Dunia memang seperti itu sekarang ini. Sebagai guru biasa, apalagi pemula, pada jenjang aliyah, saya hanya bisa meminta siswa yang tulisannya masih berproses itu untuk segera menyelesaikan prosesnya. Jangan sampai kelak ia ditolak saat melamar kerja hanya gara-gara tulisan tangannya yang menurut HRD tidak menunjukkan kriteria yang layak, meski  realitanya ia lebih cekatan dan kreatif dari yang tulisannya bagus. Kecuali dia menerima takdir karirnya bukan di dunia karyawan, tetapi di dunia seniman dan hiburan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun