Mohon tunggu...
Mohammad Juanda
Mohammad Juanda Mohon Tunggu... -

Staf LBH Progresif Kabupaten Tolitoli

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Ciling-ciling Mengadu pada Batang Jerami

17 Februari 2014   01:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:46 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Nafasku sesak di sungai ini,” kata Ciling-ciling, mengadu kepada batang jerami yang lagi berdansa bersama angin di sore itu.

Ciling-ciling adalah sejenis ikan air tawar yang paling diburu oleh para pemancing. Ikan ini diburu bukan karena untuk dimakan, melainkan dijadikan umpan bagi siapa saja yang menjadi penggila “straight”.

Batang Jerami yang girang gembira dengan suasana hatinya seakan acuh di atas sempadan. Ia tidak mendengar keluhan sahabat kecilnya itu.

Ciling-ciling dan Batang Jerami sudah lama bersahabat. Mereka berdua bertemu saat Ciling-ciling menjadi yatim. Ikan kecil itu terpisah dari induknya saat banjir besar terjadi. Hingga hari ini ia tidak tau apakah induknya masih hidup atau mati karena terbawa arus.

Batang Jerami baru sadar saat Ciling-ciling berteriak keras menagis, harap-harap curhan hati, keluh-kesahnya di dengar.

“Mengapa engkau bersedih, wahai sahabatku,” Tanya Batang Jerami, sambil mengelus pipi Cilin-ciling.

“Nafasku sesak,” kata Ciling-ciling, menjawab pertanyaan Batang Jerami.

“Sungai ini membuatku sesak. Airnya sudah berubah, baunya menyengat,” katanya lagi menambahkan.

Sungai sebagai tempat hidup Ciling-ciling dan segerombolannya sudah dicemari oleh sampah-sampah yang berserakan. Manusia yang tinggal di bantaran menjadikan sungai itu bak tong sampah. Semua jenis limbah lunak dan cair bercampur baur menjadi satu.

“Cobalah kau makin mendekat kemari,” Batang Jerami mendekap erat Ciling-ciling yang lagi bersedih. Batang Jerami berupaya menghibur Si Mungil itu dalam pelukannya.

“Jangan terlalu meratapi kesedihanmu. Nanti juga kau akan terbiasa dengan kondisi seperti ini,” tutur Batang Jerami, sambil terus mendekap Ciling-ciling mungil.

Dalam sehari, sungai tempat bermain Ciling-ciling bisa dipenuhi sampah-sampah organic. Entah sudah berlangsung berapa lama. Yang jelas, sungai itu serampangan. Penduduk yang tinggal di sekitarnya tidak sadar bahwa membuang sampah di sungai mengganggu ekosistem mahluk-mahluk Tuhan yang ada di sana.

“Jangan menangis lagi sahabatku,”, Batang Jerami terus menyeka air mata Ciling-ciling.

Meskipun sudah bersusah payah menghibur, Ciling-ciling masih terus saja menangis, bahkan suaranya makin dikeraskan, hingga mahluk-mahluk lain yang ada di sungai itu terkaget-kaget dibuatnya.

“Aku benci dengan manusia, aku benci. Mereka hanya memikirkan dirinya sendiri. Apakah mereka tidak tau bahwa kami juga membutuhkan udara yang segar?,” katanya sambil terus berontak dalam pelukan Batang Jerami.

Mendengar kegaduhan itu, Pak Tua datang menghampiri dua sahabat yang sedang berdialog.

Pak Tua adalah Ikan Haruan, ikan ini adalah penghuni paling lama di sungai tempat Ciling-ciling dilahirkan, tempat Batang Jerami setiap hari mengambil air untuk diminum agar tidak terbakar oleh teriknya matahari.

“Sudahlah, hentikan tangisanmu. Nanti juga kau akan terbiasa dengan kondisi seperti ini. Sebagai mahluk kecil, kita harus menerima dengan pasrah perbuatan kejak manusia-manusia yang tidak menghargai keberadaan mahluk lain,” nasehat Pak Tua.

Belum habis Pak Tua memberikan nasehat, tidak lagi terdengar suara Ciling-ciling. Pikir mereka, mungkin Si Mungil ini tertidur gara-gara seharian menagis.

“Ciling-ciling kelelahan karena seharian menangis. Kasihan juga dia,” kata Pak Tua membuka pembicaraan dengan Batang Jerami.

Waktu berlalu, Ciling-ciling tak kunjujung bangun.

Alangkah kagetnya Pak Tua dan Batang Jerami, rupanya Ciling-ciling yang dikira tertidur, telah mati.

Ciling-ciling mati membawa kesal, dendam atas ulah manusia yang tidak menghargai air sebagai sumber penghidupan.***

Sampai Jumpa Lagi...

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun