Mohon tunggu...
Mohammad Iwan
Mohammad Iwan Mohon Tunggu... Buruh - Pelajar Seumur Hidup

Untuk tetap selo, menyeruput kopi pahit dua kali sehari adalah kunci

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Penghuni Taman Edelweis di Surga

26 Januari 2017   23:47 Diperbarui: 27 Januari 2017   00:14 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto : argopuro.blogspot.com"][/caption]Sekitar tahun 1995, mungkin, saya agak lupa. Untuk pertama kalinya saya ikut mendaki gunung betulan. Sebelumnya, paling cuma kemping di tempat perkemahan seputaran Bogor dan Sukabumi. Mendirikan tenda dan menikmati deru air terjun.

Gunung Papandayan di Garut menjadi perkenalan pertama saya dengan gunung, kawah, dan yang paling populer di dasawarsa itu, bunga abadi, edelweis.

Entah siapa yang memulai kekonyolan ini, edelweis menjadi alat gombal paling mujarab bagi playboy cap panci burik.
Kala itu, anak gunung sedang beken-bekennya. Cowok keren di masa itu adalah yang berbaju Flannel, celana gunung, gelang dari tali paracord, dan rambut yang agak gondrong.
Apalagi dengan sekuntum edelweis di tangan. Beeuhh.Bahkan seorang Raisa, jika tumbuh dan mekar di masa itu, bakalan khilaf.

Edelweis, itu motivasi saya mendaki pertama kali. Saya iri dengan abang saya, yang punya seikat kecil edelweis yang ia pajang di pojok kamar, bersanding dengan potret gadis hasil gombalannya [kalo yang ini nanti tolong konfirmasi ke orangnya].

Setelah melalui perjalanan yang lumayan melelahkan--waktu itu ke Garut, jika menggunakan bus ekonomi membutuhkan waktu sedikitnya 8 jam-- , saya tiba di gerbang sebelum masuk waktu ashar. Dengan bergegas saya dan beberapa teman menyusuri tepi kawah, terlambat beberapa jam saja, pendakian tidak dibolehkan. Terlalu berisiko jika pendakian dilakukan di penghujung petang.

Sampai di puncak, setelah melewati tepi kawah. Saya, yang baru pertama kali menapak di ketinggian puncak gunung langsung dibuat takjub, setakjub-takjubnya. Hamparan bukit dengan kawahnya yang terus mengepulkan asap, dilihat dari ketinggian, laksana tungku raksasa yang tengah memasak santapan malam bagi para pendaki.

Udara dingin mulai menyelimuti, saat kami mendirikan tenda ditengah hamparan bunga edelweis. Bahkan, saat siang hari, kami menjadikan pohon edelweis sebagai gawang saat bermain bola. Entah saat ini, masihkah edelweis di sana seberlimpah dulu?

Saat pulang, saya dan rombongan sampai bela-belain turun dari puncak papandayan tanpa melewati gerbang utama, alias lewat jalur belakang, agar tak melewati penjagaan. Demi sekantong edelweis. Yang memang menjadi misi utama kami. Betapa bajingannya kami saat itu.

Beberapa tahun kemudian, di Mapala, saya akhirnya tahu, edelweis di puncak sebuah gunung tak semestinya dipetik, biarkan ia mengabadi dalam ketinggian. Menjadi perlambang kesejatian dan penyejuk hati bagi jiwa-jiwa yang letih dengan kompleksitas hidup. Bukan sekadar alat untuk gombalin gadis incaran.

Jika bunga, pohon, udara dan airnya saja kita jaga dan cintai. Rasanya terlalu perih membayangkan kelakuan kampret para senior yang menyiksa juniornya sampai meninggal, padahal mereka membawa sebuah bendera 'Mahasiswa Pecinta Alam'.

Tidakkah mereka mengingat apa yang menjadi alasan Soe Hok Gie [seorang yang punya andil besar atas berdirinya Mapala] mendaki?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun