Allahu akbar... lailaha illa Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahi al-hamd. 1 Syawal, sebagai pertanda lebaran tiba telah usai berlalu. Hari raya adalah hari kemenangan. Kemenangan atas hawa nafsu makan dan minum secara primer, serta segala keburukan hati dan perilaku secara tersier. Kemenangan itu layak kita rayakan.
Umumnya, hari itu, jalanan dipenuhi lalu-lalang manusia. Memakai seperangkat sandang terbaiknya. Menyiapkan ruang tamu dan temu. Menyibak caci dengan puji. Gelak tawa, senyum ria, bahkan sesedikit bumbu tangis sedih dan bahagia.
Umumnya, tetangga dan saudara bersua. Yang jauh mendekat, berkumpul bersama tanpa sekat. Telapak tangan tak pernah berhenti berjabat setelah sekian waktu tak pernah sempat. Di hari itu, anak-anak kecil bak berada pada masa emasnya; coklat dan ciki, minuman warna-warni, bahkan uang saku telah menunggu.
Kini, semua itu seperti cerita angan. Berhembus menjauh terbawa angin.
Ya, pandemi viruslah penyebabnya. Ia lah duduk perkaranya. Namun, kita tak pernah benar-benar tau, apakah ia tokoh antagonis yang dikirim Tuhan untuk menghukum kesombongan manusia, atau sebagai aktor protagonis yang layak direnungi hikmah dan ibrahnya?
Virus Covid-19 yang menjamah seluruh negeri sejak hampir 5 bulan lalu, nyatanya tak kunjung berhenti hingga saat ini.
Kalkulasi tetaplah kalkulasi. Prediksi tak semestinya terjadi. Kemungkinan terbaik telah disiapkan, namun skenario Tuhan telah ditetapkan.
Berbagai aturan telah disusun, namun takdir tetaplah sebagai penuntun.
Kini, kita bisa menyaksikan realitas di berbagai daerah, banyak desa "ramai-ramai" menutup akses masuk, memasang plang dan kursi-kursi panjang di mulut desa, mengangkat banner tinggi-tinggi dan spanduk peringatan di dinding-dinding jalan "cegah Covid-19" untuk menyetop warga asing.
Meskipun memang sedikit ambigu, Â ketika tujuan dari penutupan itu adalah social distancing dan physical distancing justru dalam pelaksanaannya tak lebih dari sekadar 'memindahkan warung'. Alih-alih menjaga sanitasi trans-lingkungan, tindakan itu justru menimbulkan dampak xenophobia di kalangan masyarakat.
Maklum saja, sejak sebelum hari raya masyarakat sudah merasa cemas perihal tutupnya berbagai akses masuk di desa-desa dan sejumlah daerah regional. Sebab, secara prevalensi, perayaan lebaran di Indonesia memang begitu meriah. Silaturrahim tak pernah lengang ditelan waktu berminggu-minggu.