Membaca berita akhir-akhir ini, perdebatan lockdown di beberapa platform media massa begitu senter terdengar. Dalam situasi genting seperti ini, penerbitan perppu merupakan pilihan tepat yang semestinya diambil pemerintah sebagai tindakan hukum dalam menjalankan amanat undang-undang. Namun sampai detik ini hal itu belum kunjung kita saksikan.
Beberapa waktu lalu, dalam pidatonya, Presiden menyatakan tidak akan menerapkan lockdown, baik di tingkat daerah yang merupakan pandemik, maupun di tingkat nasional secara generik.Â
Istilah lockdown yang belakangan ini mencuat sebagai perdebatan itu menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati politik bahwa, bukankah dalam undang-undang kita menggunakan istilah karantina bukan lockdown?
Jansen Sitindaon, politisi Partai Demokrat  mengatakan dalam cuitannya bahwa lockdown adalah istilah yang justru digaungkan oleh Presiden sendiri pada saat pidato resmi di istana. "Beliaulah yang menggunakan istilah itu yang akhirnya dipakai di kampung-kampung" sambungnya.
Di sisi lain, pernyataan presiden tersebut nampaknya tidak diindahkan oleh beberapa daerah. Sampai saat ini, terdapat tiga daerah yang telah menetapkan local lockdown diantaranya; Tegal Jawa Tengah, Tasikmalaya dan Papua.
Secara gradual, beberapa daerah justru mengambil langkah sendiri untuk menyatakan local lockdown yang diawali oleh Papua dengan menutup pintu masuk bandara Sentani. Â Selain itu, suara lockdown di daerah lain hanya berupa imbauan atau maklumat dari pemerintah setempat yang berkordinasi dengan pihak kepolisian.
Pengambilan sikap oleh beberpa derah tersebut, merupakan sinyal buruknya kordinasi pemerintah pusat dan daerah. Dengan kata lain, suara istana seolah tidak lagi memiliki pengaruh serta hilangnya kepemimpinan nasional. Jika pemerintah pusat tidak segera menentukan sikap, bisa jadi lebih banyak lagi daerah yang mengambil langkah sendiri.
Di beberapa daerah, petugas kepolisian berkeliling ke tempat-tempat keramaian. Bahkan tidak jarang meraka menemukan masyarakat yang masih begeming menggelar hajatan. Mereka dimarahi habis-habisan dan dibawa ke kantor polisi untuk klarifikasi.
Kebijakan itu nampaknya membuat kita sedikit mengernyitkan dahi. Pasalnya membubarkan kerumunan itu secara materiil merugikan pedagang jika tanpa kompensasi.Â
Meskipun itu adalah tindakan yang tepat dalam menekan penyebaran virus, namun kejelasan hukum beserta konsekuensi dan kompensasinya harus juga dilakukan. Menjadi sangat lucu ketika pemerintah pusat loading dalam penetapan ini, sementara pelaksanaan dilapangan begitu massif tanpa supremasi.