Mohon tunggu...
Mohammad Ikhya
Mohammad Ikhya Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti muda

Mohammad Ikhya Ulumuddin Al Hikam. Esais muda.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Desakan Lockdown dan Rapuhnya Kepemimpinan Nasional

31 Maret 2020   08:51 Diperbarui: 31 Maret 2020   12:07 495
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca berita akhir-akhir ini, perdebatan lockdown di beberapa platform media massa begitu senter terdengar. Dalam situasi genting seperti ini, penerbitan perppu merupakan pilihan tepat yang semestinya diambil pemerintah sebagai tindakan hukum dalam menjalankan amanat undang-undang. Namun sampai detik ini hal itu belum kunjung kita saksikan.

Beberapa waktu lalu, dalam pidatonya, Presiden menyatakan tidak akan menerapkan lockdown, baik di tingkat daerah yang merupakan pandemik, maupun di tingkat nasional secara generik. 

Istilah lockdown yang belakangan ini mencuat sebagai perdebatan itu menimbulkan pertanyaan di kalangan pemerhati politik bahwa, bukankah dalam undang-undang kita menggunakan istilah karantina bukan lockdown?

Jansen Sitindaon, politisi Partai Demokrat  mengatakan dalam cuitannya bahwa lockdown adalah istilah yang justru digaungkan oleh Presiden sendiri pada saat pidato resmi di istana. "Beliaulah yang menggunakan istilah itu yang akhirnya dipakai di kampung-kampung" sambungnya.

Di sisi lain, pernyataan presiden tersebut nampaknya tidak diindahkan oleh beberapa daerah. Sampai saat ini, terdapat tiga daerah yang telah menetapkan local lockdown diantaranya; Tegal Jawa Tengah, Tasikmalaya dan Papua.

Secara gradual, beberapa daerah justru mengambil langkah sendiri untuk menyatakan local lockdown yang diawali oleh Papua dengan menutup pintu masuk bandara Sentani.  Selain itu, suara lockdown di daerah lain hanya berupa imbauan atau maklumat dari pemerintah setempat yang berkordinasi dengan pihak kepolisian.

Pengambilan sikap oleh beberpa derah tersebut, merupakan sinyal buruknya kordinasi pemerintah pusat dan daerah. Dengan kata lain, suara istana seolah tidak lagi memiliki pengaruh serta hilangnya kepemimpinan nasional. Jika pemerintah pusat tidak segera menentukan sikap, bisa jadi lebih banyak lagi daerah yang mengambil langkah sendiri.

Di beberapa daerah, petugas kepolisian berkeliling ke tempat-tempat keramaian. Bahkan tidak jarang meraka menemukan masyarakat yang masih begeming menggelar hajatan. Mereka dimarahi habis-habisan dan dibawa ke kantor polisi untuk klarifikasi.

Kebijakan itu nampaknya membuat kita sedikit mengernyitkan dahi. Pasalnya membubarkan kerumunan itu secara materiil merugikan pedagang jika tanpa kompensasi. 

Meskipun itu adalah tindakan yang tepat dalam menekan penyebaran virus, namun kejelasan hukum beserta konsekuensi dan kompensasinya harus juga dilakukan. Menjadi sangat lucu ketika pemerintah pusat loading dalam penetapan ini, sementara pelaksanaan dilapangan begitu massif tanpa supremasi.

"Salus Populi Suprema Lex" Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi, dianggap sebagai dalih atas tindakan tersebut. Padahal, jika dipahami, justru adagium itu menjadi stimulus pemerintah pusat dalam mengambil tindakan karantina dalam upaya sanitasi keselamatan rakyat.

Saat ini, di masyrakat timbul asumsi bahwa kegagapan Pemerintah Pusat tersebut karena negara tidak mampu (atau tidak mau?) membiayai tiap rakyatnya selama masa karantina sebagaimana tertulis dalam undang-undang no 6 tahun 2018 pasal 55.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun