Di setiap fase kehidupan, kita akan bertemu dengan situasi di mana kenyataan tidak berjalan sesuai harapan. Rencana gagal. Hubungan retak. Orang yang kita sayangi justru menjauh. Di saat seperti itu, kita sering bertanya-tanya: "Apa salahku?" atau bahkan, "Kenapa mereka tidak bisa mengikuti apa yang menurutku benar?"
Pertanyaan-pertanyaan itu wajar. Tapi di baliknya, kadang terselip ego—keinginan untuk memaksakan kehendak agar dunia berjalan sesuai skenario yang kita tulis sendiri.
Namun hidup bukan panggung tunggal. Kita tidak bisa menjadi sutradara untuk semua peran.
Akar dari Memaksakan Kehendak: Ego, Takut, dan Luka Lama
Seringkali, dorongan untuk memaksakan kehendak bukan semata karena ingin segalanya sempurna. Di baliknya, ada rasa takut. Takut kehilangan kontrol. Takut dikhianati. Takut merasa tak berarti jika orang lain tak mengamini ide atau cara kita.
Bahkan, tanpa sadar kita membawa luka lama ke dalam keputusan hari ini. Ketika dulu suara kita tak didengar, kita jadi ingin suara kita sekarang selalu didengar. Ketika dulu kita pernah ditinggalkan, kita jadi menuntut orang untuk bertahan. Ketika dulu kita merasa tidak cukup, kita ingin dunia memenuhi keinginan kita agar merasa berharga. Tapi luka tidak akan sembuh dengan kontrol. Luka sembuh dengan penerimaan.
Ketika Kita Memaksa, Kita Menutup Pintu Belajar
Memaksakan kehendak sering kali membutakan kita dari pelajaran hidup yang sebenarnya. Kita sibuk mengejar apa yang seharusnya terjadi, sampai-sampai lupa melihat apa yang memang sedang terjadi. Kita lupa bahwa sering kali, ada makna di balik ketidaknyamanan. Ada pertumbuhan dalam ketidakpastian.
Saat seseorang tidak setuju dengan kita, bisa jadi itu kesempatan untuk melihat sudut pandang baru. Saat rencana gagal, bisa jadi itu ruang untuk belajar fleksibilitas. Dan saat kita ditolak, bisa jadi itu panggilan untuk menyayangi diri sendiri lebih dalam.
Â