Mohon tunggu...
Gufron Ramadhan
Gufron Ramadhan Mohon Tunggu... Aku adalah Imigran dari surga sang penikmat kata berupa fatamorgana.

Hidup itu aneh, jadi aku tulis saja. Biar nanti bisa dibaca ulang, dan ditertawakan bersama, atau ditangisi sendirian

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membokar Akar Korupsi: Salah Siapa, Pemerintahan atau Sistem Politiknya?

4 Oktober 2025   08:00 Diperbarui: 4 Oktober 2025   08:12 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Korupsi di Indonesia ibarat penyakit kronis yang tak kunjung sembuh. Padahal, puluhan tahun sudah masyarakat menuntut pemerintahan yang bersih. Pertanyaannya: apakah korupsi semata-mata kesalahan individu pejabat yang rakus, atau justru sistem politik kita yang memang cacat sejak awal?

 Mari bicara data. 

Dilansir Kompas (Nasional), Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2024 naik ke angka 37, dan peringkatnya di dunia menjadi 99.

 Kesalahan Pemerintah: Lemah dalam Menutup Celah 

Sulit menampik bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab. Regulasi ada, tetapi pengawasan lemah. Sistem e-procurement memang sudah berjalan, tapi faktanya masih banyak proyek fiktif, mark up harga, hingga laporan keuangan palsu.

Di sisi lain, birokrasi kita masih sarat budaya patronase. Pejabat kerap lebih loyal pada atasan atau partai pendukung daripada pada rakyat. Transparansi dan akuntabilitas masih sebatas jargon, bukan komitmen nyata.

Kesalahan Sistem Politik: Korupsi sebagai "Biaya Politik"

 Namun, apakah semua bisa ditimpakan ke pemerintah? Tidak juga. Sistem politik kita memberi lahan subur bagi korupsi.

  • Politik biaya tinggi membuat kandidat harus mengeluarkan dana besar untuk kampanye. Begitu terpilih, mereka mencari cara "mengembalikan modal" melalui proyek, suap, atau pengaturan anggaran.

  • Partai politik lebih sering menjadi "mesin pencari dana" daripada wadah pendidikan politik. Jabatan publik pun sering dibagi berdasarkan balas jasa, bukan kapasitas.

  • Revisi regulasi kadang justru melemahkan lembaga antikorupsi, menunjukkan bahwa kepentingan politik bisa mengalahkan agenda pemberantasan korupsi.

Singkatnya, sistem politik kita seperti mesin yang setiap putarannya menghasilkan risiko korupsi baru.

Maka, pertanyaan besarnya bukan lagi siapa pejabat yang korupsi?, melainkan:

  • Apakah kita hanya butuh "orang baik" di kursi kekuasaan, atau perlu perombakan total sistem politik dan pemerintahan?
  • Apakah masyarakat juga turut salah karena permisif terhadap praktik suap dan gratifikasi sehari-hari? 

Korupsi di Indonesia jelas bukan hanya soal "oknum nakal". Ini adalah masalah struktural. Pemerintah gagal menutup celah, dan sistem politik kita justru membuka peluang baru.

Jadi, kalau kita masih bertanya "salah siapa?", mungkin jawabannya sederhana tapi pahit: salah kita semua pemerintah yang lemah, sistem politik yang cacat, dan masyarakat yang terlalu lama membiarkannya. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun