Ada momen-momen sederhana yang tak ternilai harganya --- bukan karena kemewahan tempatnya, tapi karena siapa yang bersama kita di sana. Hari itu, langit biru Telaga Sarangan memantulkan cahaya yang lembut di permukaan air, dan kami berlima --- Ayah Mohamad Endy Julianto, Ibu Ita Diah Kusumawati, serta tiga permata hati, Mohammad Nabil Kurnianto, Mohammad Najib Fitrianto, dan Anisa Fibria Imbriaksi --- larut dalam kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata.
Empat dari kami menaiki speedboat (atau seperti yang kami sebut dengan penuh tawa: "stongboat") --- melaju menembus percikan air dan angin yang menggoda wajah. Suara tawa anak-anak, percikan air yang menari, dan senyum lega Ayah menyatu menjadi harmoni yang menenangkan hati. Dari kejauhan, Ibu berdiri di tepi telaga --- bukan sekadar memotret, tapi mengabadikan cinta dalam bingkai waktu. Klik demi klik kameranya menangkap kebahagiaan yang tulus, kehangatan yang tidak akan pudar dimakan waktu.
Telaga Sarangan hari itu bukan sekadar tempat wisata; ia menjadi cermin dari cinta, kebersamaan, dan syukur. Di antara kabut tipis dan hembusan angin pegunungan, kami belajar bahwa kebahagiaan tidak perlu dicari jauh-jauh --- cukup dengan bersama keluarga, menikmati alam, dan mensyukuri setiap detik yang diberikan Tuhan.
Telaga Sarangan bukan hanya indah di mata, tapi juga di hati --- karena di sanalah tawa kami bergema, cinta kami berlabuh, dan kenangan terindah tercipta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
