Semalam saya keluar rumah untuk sekadar melepaskan kesuntukan malam. Dari pintu gerbang halaman tampak beberapa orang tengah ngobrol di beranda rumah tetangga seberang jalan. Melihat saya berdiri di bawah temaram lampu jalan, salah seorang memanggil dan melambaikan tangan mengajak mengajak ikut bergabung.
Karena butuh teman ngobrol dan menghargai ajakan itu, saya tidak berpikir panjang untuk melangkah dan memutuskan berbaur bersama mereka.
Namanya juga ngobrol. Tidak ada format khas yang menjadi tema pembicaraan. Topik obrolan bisa loncat sana sini, mulai dari tentang kebutuhan spesifik laki-laki dewasa, aroma rokok lintingan dari tembakau kasturi, hujan yang terus menggerus permukaan jalan tanah di desa kami, atau tentang atap bocor yang menyebalkan walaupun telah diperbaiki berulang kali.
Namun malam itu dua orang di antara mereka lebih banyak bercerita tentang pengalamannya berburu gaharu. Walaupun sebenarnya pengalaman mereka sudah berulang kali diceritakan tetap saja menjadi narasi menarik untuk didengarkan.
Alkisah, mereka (tetangga saya tiga orang adik berkakak), telah bertahun-tahun malang meintang di rimba Kalimantan Utara. Mereka baru beberapa hari saja pulang melepaskan kerinduan kepada keluarga dan kampung halaman. Menjelang Ramadhan, biasanya mereka pulang menikmati puasa bersama keluarga. Lalu selepas lebaran mereka kembali lagi meninggalkan rumah hingga menjelang tibanya Ramadhan berikutnya.
Sebenarnya mereka tidak bertiga. Ada teman-temannya yang lain dari desa lain bersama mereka.
Dari Lombok mereka terbang ke benua kecil Borneo dengan harapan menemukan sumber kehidupan yang lebih baik. Mereka adalah pencari gaharu yang nyaris sepanjang tahun lebih banyak melewatkan hari-harinya dalam belantara demi memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.
Menantang Bahaya
Pekerjaan yang mereka lakukan bukan pekerjaan biasa. Aksi mereka mungkin dapat disamakan dengan pemanjat ketinggian, para penakluk menara. Sama-sama menantang bahaya. Bahaya tetaplah bahaya. Perbedaannya terletak pada bentuknya.
Para penantang ketinggian mungkin hanya melawan ketakutannya sendiri dan menantang gaya gravitasi bumi. Dalam dunia para pencari gaharu, tantangan itu memiliki cerita yang berbeda. Mereka dihadapkan pada ancaman yang lebih kompleks dan tidak dapat anggap remeh.
Berada di rimba Kalimantan, para petualang belantara itu membangun harapan untuk menemukan harta karun berupa gaharu yang bernilai jual tinggi jika keberuntungan sedang berpihak pada mereka. Dengan harga jual mencapai puluhan juta per ons untuk gaharu berkualitas, mereka nekat bermain petak umpet dengan daftar panjang bahaya alam liar.