Sekitar 4 atau 5 ekor cacing berhasil didapatkan. Itu sudah cukup sebagai umpan untuk mengelabui ikan-ikan yang selalu berprasangka baik.
Selanjutnya kami menuju tempat mancing, sebuah selokan yang nyaris selalu tergenang air. Biasanya di tempat itu anak-anak kampung melempar mata jorannya untuk membohongi warga air.
Keluar dari kebun tampak tiga anak lainnya terlihat datang membawa pancing rakitannya sendiri. Kholqi terlihat begitu gembira melihat kedatangan gerombolan anak-anak itu. Bersama mereka, saya dan Kholqi bergabung.
Saya memilih tempat yang nyaman di bawah sebuah pohon yang cukup rindang. Di bawahnya, saya berjongkok dan mulai membuka lilitan tali pancing, mengambil cacing umpan, dan memasangnya pada mata lengkung joran. Beberapa saat kemudian saya melempar kail ke selokan.
Selanjutnya Kholqi meraih pancing yang saya sodorkan. Jiwa tidak sabarannya sebagai anak-anak masih sangat kuat. Dia menggerutu karena belasan menit berlalu pelampung masih mengambang di permukaan, tidak kunjung menarik perhatian ikan. Sebentar-sebentar lengan mungilnya mengangkat pancing dan melemparkannya kembali ke dalam air. Tindakan ini tentu saja akan sulit membuat ikan memakan umpan.
Tampak ikan-ikan kecil bergerak menimbulkan riak lemah pada air selokan yang tergenang. Dalam bahasa Sasak ikan kecil itu disebut kepait atau pepait. Sinonim dari nama ikan itu dalam bahasa Indonesia (mungkin) disebut ikan cere; salah satu jenis spesies ikan berukuran kecil yang biasa hidup selokan atau kolam. Hewan air ini termasuk predator yang memangsa jentik karenanya dipercaya sangat efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk.
Memancing, bertahan hidup ala purba
Memancing merupakan upaya pemenuhan kebutuhan paling mendasar manusia sebagai makhluk hidup yang telah dilakukan sejak jaman purba. Noah Harari (2024) menyebutkan bahwa memancing, dalam arti menangkap ikan, merupakan salah satu aktivitas yang diduga dilakukan sejak kemunculan leluhur pertama manusia jutaan tahun lalu, jauh sebelum manusia menapaki zaman pertanian.
Harari menyebut masyarakat purba (pra pertanian) sebagai pemburu-pengumpul, sebuah periode dimana manusia hidup dalam alam liar. Dalam periode panjang itu mereka memenuhi kebutuhan dasarnya hanya dengan mengambil makanan dari alam; memetik buah, berburu mamut, atau--yang sekarang sedang kita bahas--menangkap ikan.
Teknik menangkap ikan dengan joran moderen mungkin pertama kali dimulai oleh Charles Volmer pada akhir abad ke 19. Akan tetapi, telah berabad-abad sebelumnya manusia menggunakan tongkat pancing sederhana untuk berburu ikan. (Sumber www.reelcoquinafishing.com) Dalam hal menangkap ikan, sejak zaman batu (50-10 ribu SM), manusia telah menggunakan tulang sebagai mata kail. (Sumber Wikipedia)
Bagi sebagian orang, memancing mungkin dianggap sebagai perilaku pemalas. Kadang saya juga beranggapan serupa. Saya sendiri sebenarnya tidak memiliki hobi memancing.
Dalam batas tertentu anggapan tersebut mungkin benar tetapi tidak sepenuhnya salah. Di satu sisi, Dengan begitu kompleksnya kebutuhan hidup dalam tekanan modernitas, apa yang bisa diharapkan dari mata pencaharian sebagai pemancing selokan yang hanya menggunakan sebatang joran lentur? Ini sama saja dengan menggali lubang dengan sebatang tusuk gigi.
Sifat pemburu pengumpul manusia pada dasarnya tidak pernah hilang untuk memenuhi kebutuhan hari dan mensuplai kebutuhan esok hari. Faktanya, zaman purba memang telah jauh meninggalkan kita. Namun dorongan alamiah sebagai pemburu dan pengumpul masih bertahan dengan cara yang berbeda.
Selama jutaan tahun hingga hari ini manusia mengalami evolusi dalam hal perilaku mencari makan. Dalam zaman modern manusia pemburu dan pengumpul telah mengalami evolusi menjadi pengacara, dokter, pendidik, pengusaha, ahli komputer, tukang parkir, hingga pemulung.