Mohon tunggu...
Moh Subhan MA
Moh Subhan MA Mohon Tunggu... -

fill and success

Selanjutnya

Tutup

Money

Kepemimpinan Islami dalam Peningkatan Mutu Lembaga Pendidikan Islam

28 Juni 2013   22:05 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 4316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

A. Pendahuluan

Hampir setiap kajian manajemen—termasuk manajemen pendidikan Islam-- tidak dapat menafikan pembahasan tentang kepemimpinan. Di dalam proses manajemen, kepemimpinan memegang posisi yang sangat penting sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan bawahan atau staff agar secara sukarela melakukan aktivitas kerjasama mencapai tujuan (Terry, 2003; Effendy, 1986). Kepemimpinan menempati posisi strategis sebagai inti dari manajemen karena menjadi motor penggerak bagi berbagai sumber daya (manusia dan lainnya) yang tersedia dalam organisasi untuk mencapai tujuan (Siagian, 2003).

Menurut Terry (2003:152) keberadaan kepemimpinan dalam manajemen sebagai suatu yang alami dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Beberapa dari anggota kelompok akan memimpin dan sebagian besar yang lain akan mengikuti. Kondisi ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan bawahan/staff menginginkan adanya orang lain yang menentukan, mengarahkan, memotivasi, membimbing dan mengawasi berbagai aktivitas yang perlu mereka kerjakan dan cara mengerjakannya. Oleh karena itu sukses dan tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan sebagian besar ditentukan kualitas kepemimpinan seseorang yang diserahi tugas memimpin organisasi itu sendiri (Siagian, 2003).

Senada dengan hal tersebut Moedjiarto (2002:79) menyatakan, bahwa pemimpin dalam organisasi ibarat seorang empu pada bidang perkerisan. Empu yang baik tentu sangat memahami perbedaan antara keris yang bermutu tinggi dan keris yang bermutu rendah. Bahkan seorang empu juga mampu untuk membuat keris sakti bermutu tinggi dengan “luk” atau lekuk-lekuk yang berseni tinggi.

Dalam manajemen pendidikan Islam, kepemimpinan juga memegang peranan yang sangat penting. Kepemimpinan ini dianggap sebagai pemicu perubahan dalam pengembangan mutu dan prestasi pendidikan Islam (Madrasah, Sekolah Islam, dan Pesantren) (Arifin, 1998, Choir, 2002, Rahardjo, 1995). Kepemimpinan lembaga pendidikan Islam yang efektif dapat mengkreasikan berbagai indikasi prestasi dalam lembaga pendidikan Islam yang dipimpinnya, bahkan dalam saat yang sama kemauan dari pemimpin itu sendiri untuk berubah dan pembaharuan pola kepemimpinan efektif juga menjadi pemicu pembaharuan itu sendiri.

Arifin (1998:322-323) dalam desertasinya tentang Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi menyebutkan adanya 10 faktor yang mendukung tercapainya prestasi MI/SD yang ditelitinya. Masing-masing, yaitu : 1) fasilitas fisik dan peralatan pendidikan yang baik; 2) guru-guru dan staf pendukung yang kompeten dan mempunyai komitmen yang tinggi; 3) pembelajaran yang berdiferensiasi; 4) harapan dan kepercayaan yang tinggi, dan dukungan yang kuat dari orangtua dan masyarakat sekitar; 5) organisasi yang rasional dan harmonis; 6) komitmen yang tinggi terhadap budaya lokal dan agama; 7) iklim kerja yang sehat serta motivasi dan semangat kerja yang tinggi; 8) keterlibatan wakil kepala sekolah dan guru-guru; 9) dukungan figur-figur kreatif yang kaya wawasan dan gagasan; dan 10) kepemimpinan kepala sekolah yang efektif. Kepemimpinan kepala sekolah yang efektif menjadi faktor kunci dalam mencapai prestasi, karena faktor kepemimpinan ini akan melahirkan sembilan faktor yang lain.

Kepala sekolah/madrasah yang efektif akan dapat memotivasi stafnya (guru dan non guru) untuk berprestasi dan bekerja dengan semangat tinggi. Ia juga akan dapat membina hubungan yang baik dengan orangtua dan masyarakat sekitar demi kemajuan sekolah/madrasah yang dipimpinnya. Motivasi berprestasi dan semangat kerja tinggi staf sekolah/madrasah akan melahirkan kualitas layanan pendidikan yang lebih baik yang kemudian menghasilkan siswa yang berprestasi baik. Prestasi baik akan melahirkan kepercayaan masyarakat akan kualitas pendidikan di sekolah/madrasah. Masyarakat yang percaya akan kualitas sekolah/madrasah akan tidak keberatan kalau mereka diminta membayar lebih banyak (Arifin, 1998).

Dalam frame pembaharuan manajemen pesantren, peran kepemimpinan juga tidak kalah penting. Pembaharuan akan mangalami stagnan kalau pemimpin pesantren tidak responsif terhadap perubahan (Rahardjo, 1995: 14). Kepemimpinan yang sentralistis, eksklusif, dan tunggal biasanya membawa masalah ketika terjadi pergantian kepemimpinan yang biasanya tidak disiapkan dan karena faktor alam (wafat). Pola kepemimpinan tunggal ini perlu diperbaharui menjadi lebih kolektif---sekalipun banyak pesantren yang masih mempertahankan eksklusif--, untuk menampung SDM (keturunan) pesantren dan mengembangkan lembaga musyawarah (Choir, 2002).

Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini lebih difokuskan pada upaya penelusuran kajian konsep kepemimpinan islami dan kedudukannya dalam pningkatan mutu lembaga pendidikan Islam. Kajian ini ditujukan untuk menemukan dasar teoritik bagi konsep kepemimpinan dalam terminologi keislaman dan kedudukannya dalam Ilmu Manajemen pendidikan Islam.

B. Konsep Kepemimpinan Islami

Kajian tentang konsep kepemimpinan jauh hari sudah dilakukan oleh para ahli manajemen. Kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan meyakinkan bawahan atau staff agar secara sukarela melakukan aktivitas kerjasama mencapai tujuan (Terry, 2003; Effendy, 1986). Menurut Soepardi dalam (Mulyasa, 2002) kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan, mempengaruhi, memotivasi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing, menyuruh, memerintah, melarang, dan bahkan menghukum (kalau perlu), serta membina dengan maksud agar manusia sebagai media manajemen mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan administrasi secara efektif dan efisien.

Kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang lain agar mau bekerja mencapai tujuan dan sasaran organisasi. Menurut Hersey dan Blanchard (1969:60) kepemimpinan dipandang sebagai pengaruh antar pribadi yang dilaksanakan dalam satu situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi, menuju pencapaian tujuan atau tujuan-tujuan tertentu. Pemimpin administrasi adalah orang yang mempunyai kualitas kepemimpinan yang kuat, dan duduk dalam posisi eksekutif pada sebuah organisasi atau unit administrasi. Oleh karena itu, menurut Paul C. Bartholomew (1959:87), pemimpin harus memiliki kemampuan untuk: a) memandang organisasi secara menyeluruh; b) mengambil keputusan; c) melaksanakan keputusan dan melimpahkan wewenang; dan d) menunjukkan kesetiaan (Al Buraey (1986:375).

Dari beberapa konsep kepemimpinan tersebut di atas mengindikasikan, bahwa di dalam suatu kepemimpinan diperlukan adanya 1) kemampuan kepemimpinan individu yang diserahi tanggungjawab memimpin, 2) kemampuan komunikasi dengan bawahan/staf; 3) adanya individu yang menjadi bawahan/staf,  dan 4) adanya kepengikutan bawahan/staf terhadap pemimpin. Keempat hal tersebut menjadikan aktifitas kepemimpinan dapat efektif dan efisien dalam mencapai tujuan organisasi.

Dalam Islam konsep kepemimpinan diyakini mempunyai nilai yang khas dari sekedar kepengikutan bawahan dan pencapaian tujuan organisasi. Ada nilai-nilai transendental yang diperjuangkan dalam kepemimpinan islami dalam organisasi apapun. Nilai-nilai tersebut menjadi pijakan dalam melakukan aktifitas kepemimpinan.

Terkait dengan hal ini, Saksono (1992:257) menyatakan bahwa dengan melihat akar kata roin (راع) yang berarti pemimpin sebagaimana dalam sabda Rasulullah Saw, berdasarkan pendekatan fenomenologi huruf yang membentuk katanya terdapat makna kepemimpinan dengan berbagai nilai dan karakter, serta cita-cita yang harus diperjuangkannya. Pendekatan fenomenologi huruf ini tentu kurang memuaskan sebagai kajian intelektual. Tetapi beberapa telusurannya dapat dijadikan bahan renungan dalam menjalankan aktivitas kepemimpinan islami.

Rahman (1991:62-77) menyatakan, bahwa kepemimpinan Islami, menurutnya, adalah upaya mengungkap kepribadian Rasulullah Muhammad Saw dalam menjalankan kepemimpinan. Berdasarkan temuannya, ada beberapa nilai yang menjadikan kepemimpinan Muhammad Saw sukses, yaitu: 1) mutu kepemimpinan; 2) keberanian dan ketegasan; 3) pengendalian diri; 4) kesabaran dan daya tahan; 5) keadilan dan persamaan; 6) kepribadian; dan 7) kebenaran dan kemuliaan tujuan. Nilai-nilai tersebut dicontohkan langsung, sekaligus menjadi teladan pengikutnya, sehingga menimbulkan kepatuhan dan kepengikutan secara sukarela.

Menurut Al Buraey (1986: 374-380) model islami konsep kepemimpinan memang memiliki ke-khas-an dibandingkan dengan mazhab pemikiran prilaku dan model hubungan antar manusia (seperti dari Mc. Gregor, Likert, Benis, Argiris dan lain-lain). Perbedaan tersebut diklasifikasikannya pada beberapa aspek, meliputi definisi, kualifikasi, sasaran, gaya, tingkah laku, tanggungjawab, tidak berat sebelah, dan harapan kelompok. Menurutnya kepemimpinan islami bukan untuk menjadi absolut atau otoriter, karena dalam beberapa telusuran ilmiah menunjukkan prinsip keseimbangan/tengah-tengah menjadi ciri Islam (Allah tidak menyukai sesuatu yang berlebih-lebihan).

1. Definisi

Secara eksplisit keberadaan kepemimpinan ini dilegitimasi dalam Al Qur’an sebagai seseorang yang mempunyai kedudukan kepatuhan (taat) setelah Allah dan rasul-Nya (QS. 4:58). Kepatuhan tersebut menyangkut berbagai hal yang menjadi kebijakannya, baik suka maupun tidak suka. Hanya saja kepatuhan tersebut dibatasi kepada sejauh mana kebijakannya tidak bertentangan dengan koridor yang telah ditentukan Allah dan rasul-Nya.

Kepemimpinan islami dipandang sebagai sesuatu yang bukan diinginkan secara pribadi, tetapi lebih dipandang sebagai kebutuhan tatanan sosial. Al Qur’an (QS. 4:59; 18:28; 22:41) telah menjelaskan bahwa definisi kepemimpinan sebagai bukan sesuatu yang sembarang atau sekedar senda gurau, tetapi lebih sebagai kewenangan yang dilaksanakan oleh pribadi yang amat dekat dengan prinsip-prinsip yang digariskan Al Qur’an dan  As Sunnah. (Al Burey, 1986:375)

Dari hal tersebut, definisi kepemimpinan islami bukan sekedar kemampuan individu untuk mempengaruhi seseorang agar bersedia melakukan aktivitas, tetapi lebih dari itu kemampuan tersebut diiringi dengan karakteristik individu tersebut yang dekat dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga kewenangan yang dimilikinya mempunyai efek kepengikutan dari bawahan/staf. Islam tidak menuntut kepatuhan/kepengikutan kepada individu yang memimpin yang tidak memegang prinsip-prinsip Islam. Oleh karena itu, kemampuan kepemimpinan tanpa kewenangan kepemimpinan tidak akan dapat mencapai tujuan kepemimpinan.

2. Kualifikasi

Dalam khazanah Islam banyak sekali ditemukan tentang ciri dan kualifikasi seseorang untuk menjadi pemimpin. Kualifikasi tersebut meliputi: 1) Muslim; 2) memiliki keistimewaan mental; 3) kemampuan jasmaniah; dan 4) derajat rohaniah (Al Burey, 1986:375). Keistimewaan ini lebih sekedar ciri dan kualifikasi individu untuk menjadi pemimpin, tetapi kepatuhan atau kepengikutan tetap dalam koridor komitmen terhadap prinsip Islam.

Secara sepintas kualifikasi kepemimpinan di atas, mempunyai kesamaan dengan kajian kepemimpinan dengan pendekatan sifat dalam kepemimpinan pada umumnya. Dimana menurut pendekatan ini, kepemimpinan didasarkan pada beberapa sifat dan keistimewaan yang di bawa sejak lahir. Pendekatan ini juga berhasil merumuskan beberapa sifat yang memungkinkan seseorang menempati derajat kepemimpinan. Sifat-sifat tersebut, meliputi: 1) kekuatan fisik dan susunan syaraf; 2) penghayatan arah dan tujuan; 3) antusiasme; 4) keramahan-tamahan; 5) integritas; 6) keahlian teknis; 7) kemampuan mengambil keputusan; 8) inteligensi; 9) keterampilan memimpin; dan 10) kepercayaan (Tead, 1963 dalam (Mulyasa, 2003:109))

Pendekatan sifat seperti tersebut di atas, jika ditelusuri dalam khasanah Islam ternyata tidak mempunyai implikasi apapun tanpa adanya komitmen terhadap prinsip Islam. Sebaliknya dalam pendekatan sifat kepemimpinan non islami sifat-sifat tersebut bersifat mutlak, sehingga seseorang yang tidak mempunyai kualifikasi sifat tersebut tidak akan mendapat legitimasi kepatuhan. Oleh karena itu dalam prinsip kepemimpinan islami sekalipun secara kualifikasi seseorang telah memenuhi keistimewaan-keistimewaan tersebut, tetapi tidak komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam, kepemimpinannya tidak akan berguna.

3. Sasaran

Dalam prinsip Islam, kepemimpinan lebih didasarkan pada upaya menerapkan tatanan Islam dan menciptakan lingkungan kondusif bagi tegaknya tatanan tersebut. Kepemimpinan dipandang sebagai kewajiban kelompok, sehingga kepemimpinan dilakukan sebagai upaya menjaga eksistensi kelompok. Posisi kepemimpinan di dalam kelompok bukan saja akan memperkuat kegiatan para anggota, tetapi juga akan memenuhi dan menjamin keperluan pribadi dan kelompok yang ada dalam organisasi (Al Burey, 1986:376-377)..

Dari hal tersebut, sasaran kepemimpinan islami lebih dari sekedar pencapaian tujuan organisasi yang bersifat sementara seperti pada kepemimpinan organisasi pada umumnya. Sasaran kepemimpinan islami adalah upaya penegakan tatanan islami dalam organisasi sekaligus penyiapan kondisi bagi tegaknya tatanan islami tersebut. Tujuan yang suci ini harus menjadi sasaran setiap pemimpin islami, apabila menghendaki dukungan, kepatuhan, dan ketundukan dari bawahan/staf (ummat).

4. Gaya

Dari telusuran khasanah Islam, gaya kepemimpinan islami memiliki kekhasan yang diperlihatkan sebagai titik tengah antara kepemimpinan otoriter dan kepemimpinan laissez faire (Al Burey, 1986:377). Kekhasan ini diperlihatkan dengan penggunaan prinsip Islam yang tegas dan penggunaan lembaga syura (musyawarah). Penerapan syura memungkinkan pemimpin islami terhindar dari paradigma otoriter dimana pemimpin dipandang sebagai pusat otoritas, dan terhindar dari laissez faire dimana organisasi tidak mempunyai pengarahan, pengawasan, ataupun petunjuk, sehingga semua fihak mengambil keputusan sendiri-sendiri (Al Burey, 1986:377)

Penerapan prinsip syura menunjukkan kepemimpinan islami berada di tengah-tengah antara kedua kutub ekstrim tersebut di atas. Dengan syura pemimpin islami diwajibkan untuk berkonsultasi dengan bawahan/staf dan mendengarkan pendapatnya sebelum memutuskan sesuatu. Syura meneguhkan suatu prinsip kepemimpinan islam yang mengagungkan keunggulan pribadi dan mengagungkan keputusan kelompok (Al Burey, 1986:377).

Rasulullah Saw sebagai sumber teladan kepemimpinan islami telah mencontohkan penerapan musyawarah yang juga diikuti al khulafa’ur rosyidun. Musyawarah ini beliau lakukan hampir dalam setiap urusan, seperti kenegaraan, peperangan, maupun kemaslahatan umum (Effendy, 1986:223). Bahkan Al Qur’an (QS. 3:159; 42:38) memerintahkan dengan empati kepada beliau untuk melakukan musyawarah ini dan perlunya musyawarah dalam setiap urusan yang ini dapat dipertanggungjawabkan melalui bukti sejarah (Munawir, tt:100).

5. Tingkah laku

Dalam prinsip Islam, kepemimpinan juga didasarkan pada standar prilaku yang menuntut pemimpin islami bisa menjadi standar atau teladan bawahan/staf. Prilaku pemimpin yang baik, standar nilai dan etika yang tinggi, dan perilakunya terhadap kelompok, tentu akan menarik dukungan dan kerjasama dari bawahan/staf. Setiap bawahan/staf akan menemukan dari pemimpin contoh istimewa, bukan saja yang membanggakan organisasi dan bawahan/staf, tetapi juga mendorong mereka untuk mengikuti dan meniru tindakan dan perilaku pemimpin (Al Burey, 1986:378).

Teladan demikian yang oleh Allah ditegaskan dalam Al Qur’an (QS. 33:21) kepada seluruh pemimpin islami untuk meniru Rasulullah Saw. Seluruh gerak dan lakon Rasulullah Saw menampilkan keutuhan ciptaan Allah, memperlihatkan kemuliaan sifatnya, rasa persahabatnnya yang kokoh, kesabarannya, keberaniannya, kesungguhan dan kegembiraannya untuk kebenaran yang ditugaskan kepadanya, yang kesemuanya telah membuktikan sebagai seorang pemimpin yang tidak mungkin orang tidak mematuhi dan mencintainya (Munawwir, tt:183).

Madzhab perilaku dalam kepemimpinan juga telah berhasil merumuskan beberapa perilaku pemimpin yang memungkinkan bawahan untuk patuh. Beberapa prilaku pemimpin dan hubungannya dengan bawahan/staf menjadi obyek kajian untuk menemukan titik temu kepengikutan bawahan/staf pada pemimpinnya. Pada madzhab ini inisiatif, perhatian (consideration), motivasi, dan hubungan kerja antara pemimpin – bawahan – dan produksi dianggap sebagai suatu titik temu kepengikutan bawahan/staf (Mulyasa, 2003:109-112).

Dalam kepemimpinan islami, titik kepengikutan bukan sekedar hal-hal tersebut di atas, karena pemimpin islami diikat oleh suatu prinsip-prinsip dan sumber-sumber hukum primer dan sekunder menjadi rambu-rambu kepemimpinannya. Rambu-rambu itu merupakan suatu aturan legislasi yang mempunyai nilai tetap dan umum. Inisiatif pribadi (ijtihad) dimungkinkan apabila ia memiliki kapasitas dan kapabilitas, namun ijtihad yang dilakukan hanya mengikat dirinya sendiri, yang tidak ada kewenangan untuk memaksakan kepada bawahan/staf. Bawahan/staf tetap mempunyai kemerdekaan untuk memilih mengikuti atau tidak (Al Burey, 1986:378). .

6. Tanggungjawab

Pengembangan tanggungjawab menjadi ciri dari kepemimpinan islami. Pemimpin islami diikat oleh suatu tanggungjawab untuk melindungi bawahan/stafnya, dan memegang tanggungjawab legal terhadap diri sendiri dan kegiatan bawahan/staf. Dalam terma tertinggi ia harus menjamin bahwa kemanfaatan bagi seluruh anggota kelompok sebagai cita-cita tertinggi. Oleh karena itu, pengembangan tanggungjawab dilakukan dengan bekerja sama antara seluruh anggota kelompok, bukan sewenang-wenang, dan dengan metode yang manusiawi. (Al Burey,1986:378).

Prinsip tersebut ditegaskan oleh sabda Rasulullah Saw, bahwa setiap orang adalah penanggungjawab bagi semua yang ada di bawahnya, dan untuk itu akan dimintai pertangungjawaban terhadapnya. Atas dasar ini kepemimpinan islami menuntut setiap personal pemimpin untuk dapat mengembangkan kelompok masing-masing melalui nasihat, arahan, dan juga pelatihan, sehingga dapat secara efektif mencapai sasaran dan membawa kebaikan untuk organisasi khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Prinsip tersebut perlu didukung keahlian pemimpin dalam kemampuan berfikir bijaksana, berbicara dengan jelas, berdiskusi dengan tenang, terampil dalam membujuk, dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya (Al Burey, 1986:379). Keahlian ini dalam teori kepemimpinan modern disebut keahlian pengarahan dan komunikasi kerja untuk meningkatkan partisipasi kelompok dan pengembangan tanggungjawab (Syafi’i, 2000).

7. Tidak Berat Sebelah

Prinsip dasar ini mewajibkan pemimpin islami untuk tidak main-main dalam mengambil kebijakan. Ia harus bertindak adil kepada seluruh subyek tanpa melihat ras, warna kulit, kepercayaan, jenis kelamin, dan asal-usul. Prinsip ini akan memunculkan kecintaan dan kepatuhan bawahan/staf secara optimal.

Al Burey (1986:379) menyatakan bahwa riwayat peristiwa dari Rasulullah Saw ketika diminta untuk memaafkan seorang wanita pencuri karena latar belakang keluarganya yang terhormat dan terkemuka, beliau seraya bersabda: “Ummat manusia sebelum engkau telah mengalami kerusakan yang nyata, karena mereka cenderung menghukum yang lemah dan memaafkan mereka yang dianggap mulia. Demi Allah, apabila Fatimah (putri Nabi) mencuri, maka aku pun akan memotong tangannya”, adalah suatu contoh sikap kepemimpinan dalam prinsip tidak berat sebelah ini. Prinsip ini merupakan standar tindakan kepemimpinan islami yang sangat tinggi menghiormati prinsip-prinsip persamaan hak yang akhir-akhir ini menjadi cita-cita dan populer dalam kajian manajemen modern.

8. Harapan Kelompok

Prinsip ini menyatakan bahwa seorang pemimpin islami perlu menyeimbangkan antara tugas kemanusiaan, kepemimpinan, dan harapan kelompok organisasi. Keseimbangan dan tanggungjawab yang diwujudkannya menjadi wajar kalau dia juga mempunyai hak ketaatan/kepatuhan yang harus didapatkannya dari kelompok (Al Buraey, 1986:380). Kepatuhan ini menurut Islam merupakan konsekwensi dari kepemimpinan yang dilakukannya terhadap kelompok, tentu saja selama keputusan yang dia ambil sesuai dengan norma yang telah disepakati kelompok dan prinsip Islam.

Hubungan antara pemenuhan tanggungjawab dan harapan kelompok dalam kepemimpinan Islami menjadi dasar dari tindakan kepatuhan dan kepengikutan bawahan/staf. Kepatuhan tersebut bersifat mengikat bagi seluruh anggota kelompok, bahkan dilindungi oleh agama. Islam mencela, bahkan menghukum barangsiapa menentang pemimpinnya dan mengikuti keinginan sendiri (Al Burey, 1986). Sekalipun demikian, bawahan masih diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, mengkritik pemimpin, bahkan mengancamnya kalau berlaku sesat.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik simpulan, bahwa kepemimpinan Islami merupakan sistem yang terpadu, yang memberikan keseimbangan antara tugas dan tanggungjawab pemimpin dan anggota. Keseimbangan ini mengindikasikan bahwa sistem Islami selalu menempatkan diri pada posisi tengah-tengah dalam spektrum kewenangan yang ada. Kepemimpinan Islami tidak mengorbankan kepentingan kelompok dalam kepemimpinan otoriter, dan juga sebaliknya tidak mengorbankan pemimpin sebagaimana kepemimpinan laissez faire.

B. Kedudukan Kepemimpinan Islami dalam Peningkatan Mutu Lembaga

Pendidikan Islam

Sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa dalam prinsip manajemen, kepemimpinan merupakan kunci pokok, karena menjadi inti dari seluruh aktivitas manajemen. Dari meja pemimpin seluruh aktivitas manajemen dimulai dan pada meja tersebut aktivitas manajemen diakhiri. Pemimpin memegang tanggungjawab yang tertingi dalam mensukseskan pencapaian tujuan organisasi.

Terry (2003:152-153) menyatakan, bahwa pemimpin memikul tanggungjawab dan berusaha untuk menangani masalah yang dihadapi organisasi. Pemimpin berusaha mengindentifikasi dan memahami keinginan bawahan untuk mengalihkan rencana menjadi kenyataan. Pemimpin melakukan pertemuan konsultasi dan partisipasi untuk menyampaikan rencana, menjelaskan tujuan, memberitahukan tugas, membangkitkan semangat, dan berusaha mengatasi ketegangan antar anggota kelompok. Disamping itu pemimpin juga berusaha memahami problema yang dihadapi bawahan dan perasaannya terhadap problema tersebut, pekerjaan, rekan-rekan kerja, dan lingkungan kerja bawahan.

Dalam terminologi manajemen pendidikan Islam, kepemimpinan islami diwujudkan sebagai posisi/jabatan manajerial tertentu yang memikul tanggungjawab untuk mencapai tujuan organisasi melalui aktivitas-aktivitas kepemimpinannya. Kepemimpinan demikian, dikategorikan kepada administrative leader dan operative leader (Effendy, 1986: 207)). Administrative leader adalah kelompok pimpinan yang menentukan kebijakan (policy), kebijakan umum, yang sering disebut manajer puncak atau eselon tertinggi (top manager), sedangkan operative leader adalah kelompok pemimpin yang langsung berhadapan dengan operasi, yang merupakan pelaksanaan dari kebijakan yang dibuat pemimpin administatif. Kelompok pemimpin yang terakhir lebih sering disebut pemimpin tingkat menengah/madya (midle management), dan pemimpin tingkat bawah/terdepan (low management).

Sukses dan tidaknya kepemimpinan masing-masing kelompok pemimpin tersebut dalam melaksanakan tugasnya ditentukan oleh keahlian manajerial (managerial skills) dan keahlian teknis (technical skills) tergantung posisi kepemimpinan yang ditempati. Semakin tinggi kedudukan kepemimpinan seseorang, semakin tinggi keahlian manajerial yang diperlukan, sebaliknya semakin rendah kedudukan kepemimpinan seseorang keahlian teknis lebih banyak diperlukan. Dengan demikian, semakin tinggi kedudukan kepemimpinan menjadi semakin generalist dan sebaliknya semakin rendah kedudukan kepemimpinan menjadi semakin specialist (Siagian, 2003: 30).

Dalam konteks manajemen pendidikan Islam, semakin tinggi seseorang menempati kedudukan kepemimpinan, ia harus mampu merumuskan kebijakan umum untuk dijalankan/dioperasionalisasi pemimpin yang lebih rendah. Sebaliknya semakin rendah jabatan kepemimpinan seseorang, ia harus lebih terfokus pada unit-unit yang menjadi bagiannya dan menguasai secara lebih detail (spesialits) permasalahan unit/bagian tersebut. Kebersamaan kerjasama dan kualitas kerja masing-masing kepemimpinan akan melahirkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu tinggi.

Peter dan Austin dalam (Sallis, 2006: 170-171) mengembangkan beberapa nilai yang dibutuhkan kepemimpinan pendidikan untuk melahirkan lembaga pendidikan bermutu tinggi. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:

1.Visi dan simbol-simbol; pemimpin pendidikan perlu mengkomunikasikan nilai-nilai institusi kepada para staf, pelajar, dan komunitas yang lebih luas.

2.MBWA (Management by Walking About); suatu penerapan gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada pelaksanaan/praktik. Gaya kepemimpinan ini sangat dibutuhkan bagi sebuah institusi.

3.Fokus pada pelajar; artinya institusi perlu memiliki fokus yang jelas terhadap pelanggan utamanya, yaitu pelajar atau siswa.

4.Otonomi, eksperimentasi dan antisipasi terhadap kegagalan; pemimpin pendidikan perlu melakukan inovasi diantara staf-stafnya dan bersiap-siap mengantisipasi kegagalan yang mengiringiinovasi tersebut.

5.Menciptakan rasa kekeluargaan; pemimpin perlu menciptkan rasa kekeluargaan di antara para pelajar, orangtua, guru, dan staf instansi.

6.Ketulusan, kesabaran, semangat, intensitas, dan antusiasme; sifat-sifat ini merupakan mutu personal yang esensial yang dibutuhkan pemimpin lembaga pendidikan.

Dalam mencapai visi kepemimpinan tersebut, seorang pemimpin pendidikan Islam perlu memiliki keterampilan konseptual, keterampilan manusiawi, dan keterampilan teknik. Keterampilan konseptual dipandang sebagai keterampilan untuk memahami dan mengoperasikan organisasi; keterampilan manusiawi yaitu keterampilan untuk bekerjasama, memotivasi, dan memimpin; sedangkan keterampilan teknik ialah keterampilan dalam menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan perlengkapan untuk menyelesaikan tugas tertentu (Pidarta, 1988). Untuk memiliki keterampilan-keterampilan tersebut, pemimpin pendidikan Islam secara sadar untuk terbuka bersida untuk: 1) senantiasa belajar dari pekerjaan sehari-hari terutama dari cara kerja guru dan tenaga pendidikan lainnya; 2) melakukan observasi kegiatan manajemen secara terencana; 3) membaca berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan yang sedang dilaksanakan; 4) memanfaatkan hasil-hasil penelitian orang lain; 5) berfikir untuk masa yang akan datang; dan 6) merumuskan ide-ide yang dapat diujicobakan (Pidarta, 1988).

Disamping itu, tentu saja nilai-nilai dasar kepemimpinan Islami yang telah diuraikan tersebut di atas perlu dijadikan rambu-rambu dalam pengambilan keputusan pendidikan yang ditetapkan. Dengan berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan Islami tersebut, kepemimpinan yang dijalankan akan senantiasa mendapat pancaran cahaya bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT, sehingga akan berhasil mendapatkan kepatuhan bawahan dan ridho-Nya dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam yang bermutu dan siap bersaing menghadapi tantangan global.

D. Penutup

Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa kegiatan kepemimpinan Islami dalam upaya peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam adalah merupakan aktifitas pemimpin dalam upaya menggerakkan bawahan menuju tujuan yang ditentukan dan ridho Allah SWT. Kepemimpinan tersebut memerlukan berbagai keterampilan dan sifat, serta komitmen terhadap prinsip-prinsip Islam yang terurai dalam Al Quran dan Hadits yang akan menjamin kepatuhan hakiki bawahan. Keberhasilan kepemimpin Islami dalam manajemen pendidikan Islam akan membawa pemberdayaan dan peningkatan mutu lembaga pendidikan Islam.



Daftar Rujukan

Al Buraey, Muhammad Abdullah, 1986, Islam Landasan Alternatif Administrasi Pembangunan, Jakarta: CV. Rajawali

----------------, 1990, Management & Administration in Islam, Dahran Saudi Arabia: King Fahd University of Petroleum & Mineral

Arifin, Imron, 1998, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi, Disertasi Doktor, Tidak dipublikasikan., Malang: IKIP Malang

Choir, Abu, 2002, Pembaharuan Manajemen Pesantren Studi Kasus Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur, Tesis Tidak dipublikasikan, Malang: STAIN Malang.

Effendy, Ek., Mochtar, 1986, Manajemen Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam, Jakarta: Bhratara Karya Aksara

Moedjiarto, Prof. Dr., Ir., M.Sc., 2002, Sekolah Unggul Metodologi Untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan, tanpa kota: Duta Graha Pustaka

Mulyasa, E., Dr., M.Pd., 2002, Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Munawwir, Ek., Imam., tt., Asas-asas Kepemimpinan Dalam Islam, Surabaya: Usaha Nasional

Pidarta, Made, Prof. Dr., 1988, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara

Rahardjo, M. Dawam, 1995, Dunia Pesantren dalam Peta Pembaharuan dalam (Pesantren dan Pembaharuan), cet.ke-5.,  Jakarta: LP3ES

Rahman, Afzalur, 1991, Nabi Muhammad Sebagai Seorang Pemimpin Militer, Jakarta: Bumi Aksara

Saksono, Lukman, Dr., 1992, Filsafat Kepemimpinan Studi Komparatif US Army, ABRI, dan Islam, Jakarta: Grafikatama Jaya

Sallis, Edward, 2006, Total Quality Management in Education; Manajemen Mutu Pendidikan (alih bahasa: Dr. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, M.Ag.), Jogjakarta: IRCiSoD

Siagian,Sondang, P., Prof., Dr., M.PA., 2003, Filsafat Administrasi Edisi Revisi, Jakarta: Bumi Aksara

Syafi’i, Inu Kencana, 2000, Al Qur’an dan Ilmu Administrasi, Jakarta: Bumi Aksara

Terry, George, R.,   2003, Prinsip-Prinsip Manajemen (alih bahasa J. Smith D. F.M.), Jakarta: Bumi Aksara

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun