Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rencana Manusia vis a vis Rencana Allah

20 Juni 2017   16:45 Diperbarui: 20 Juni 2017   20:33 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

RENCANA manusia tidak pernah sempurna. Manusia boleh bercita-cita merencanakan sesuatu apapun, bahkan yang mustahil sekalipun. Tak ada larangan bagi manusia untuk bercita-cita.

Dalam bahasa agama, kita mengenal dua istilah dalam merumuskan harapan manusia atau rencana manusia. Pertama Tarajji dan yang kedua Tamanni. Tarajji adalah harapan atau rencana yang mungkin tercapai, sementara Tamanni adalah rencana yang tidak mungkin teralisasi.

Dua kategori ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keterbatasan. Mereka wajib berharap dan berencana, tetapi mereka juga harus sadar bahwa bersama mereka ada keterbatasan, sebagai wujud kemanusiaannya yang dhaif.

Kesadaran ini akan mengantarkan kita pada sebuah sintesa: Seindah-indahnya rencana manusia dibangun sangat mungkin hasilnya tak seindah yang kita pikirkan. Serapi apapun rencana manusia diatur hasilnya boleh jadi tak serapi apa yang termaktub dalam pikiran kita.

Tentu juga berlaku hukum sebaliknya: Adakalanya niat dan rencana manusia disusun secara biasa-biasa saja, tetapi hasilnya malah luar biasa.

Inilah realitas yang tak bisa kita ingkari bahwa rencana manusia akan selalu terbatas jika tidak disertai rencana Tuhan. Kemanusiaan manusia tidak akan sempurna jika tidak ada aspek Ketuhanan yang menyertai.

Realitas ini pula yang membuka kesadaran batinku dalam petualanganku selama tiga hari terakhir di Bandung. Kunjunganku ke Kota "Paris van Java" ini membuahkan banyak fakta atau hasil yang sesungguhnya di luar rencana, di luar skenario. Bahkan hari-hariku yang dihabiskan di sana pun sungguh juga sangat di luar rencana. Misterius. Unpredictable. Di luar jangkauan rencana yang ku bangun sebelumnya.

Ketika aku berencana A, maka yang terjadi bisa A minus, A plus, bisa pula A kuadrat, dan bahkan A kubik. Saat aku merencanakan bersua pamanku tiga hari lalu, sore itu tidak terwujud. Baru keesokan harinya bisa terwujud, itu pun baru terwujud sore hari, atau hampir 2x24 jam. Hasil pertemuan pun tak sesuai ekspektasi. Tak bisa memberikan solusi secara langsung, paman masih mengusulkan aku bertemu adiknya yang dianggap jauh lebih mumpuni. Ia beri aku alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi.

Akupun 'terpaksa' mabit di kediaman kawanku. Besoknya, aku coba hubungi nomor yang diberi paman, hasilnya nihil. Baru sore hari lagi ada informasi jikalau adiknya tengah sakit.

Aku pun berencana kembali ke Jakarta. Tapi rencana itu pun kembali berubah setelah secara mengejutkan, istri temanku di Bandung yang oleh dokter diprediksi akan melahirkan pada 15 Juni, justru lebih cepat delapan hari dari perkiraan dokter. Imbasnya, ia yang tadinya berencana melahirkan di Tasikmalaya pun, gagal terwujud.

Aku pun mengurungkan niatku pulang dan memilih membantunya sebisaku. Semalam aku berencana pulang sehabis sahur, tetapi rencana itu juga tak membuahkan hasil karena fisikku yang sudah kecapean. Aku coba memejamkan mata untuk waktu 1-2 jam, tapi malah aku terbangun saat sinar matahari sudah terik. Aku terlelap lebih dari 6 jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun