Menyemai Toleransi Sejak Dini
Mengapa anak-anak usia dini perlu diperkenalkan dengan toleransi? Jawabannya sederhana: usia dini adalah fase emas pembentukan karakter. Apa yang ditanamkan pada periode ini akan membekas hingga mereka dewasa.
Anak-anak yang terbiasa hidup dalam suasana damai dan rukun akan lebih mudah menerima perbedaan. Sebaliknya, jika sejak kecil mereka dibiarkan hidup dalam lingkungan penuh prasangka, kelak akan tumbuh dengan sikap eksklusif bahkan diskriminatif.
Outing class ke Pusat Edukasi Kerukunan ini menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Anak-anak diajak berkeliling melihat simbol-simbol rumah ibadah, mendengar penjelasan guru tentang pentingnya menghormati perbedaan, hingga bermain peran sederhana tentang bagaimana cara berteman meski berbeda agama atau latar belakang.
Seorang guru KB Tunas Pertiwi menceritakan, salah satu anak bahkan bertanya polos, “Kalau rumah ibadahnya berbeda, apakah Tuhan kita juga berbeda?” Pertanyaan itu menjadi momentum berharga untuk menjelaskan bahwa setiap agama memang punya cara ibadah berbeda, tetapi semua mengajarkan kebaikan, kasih sayang, dan perdamaian.
Belajar dari Pengalaman Langsung
Hj. Istikomah menekankan bahwa pengalaman nyata jauh lebih kuat dibanding sekadar teori.
“Dengan pengalaman langsung, anak-anak dapat memahami nilai-nilai toleransi, empati, dan kerja sama antarumat beragama. Kegiatan seperti ini dapat membantu anak-anak tumbuh menjadi individu yang lebih peduli dan menghargai perbedaan,” jelasnya.
Anak-anak belajar bahwa perbedaan bukan untuk diperdebatkan, melainkan untuk dihormati. Mereka menyadari bahwa teman yang berbeda agama tetap bisa diajak bermain, belajar bersama, bahkan saling menolong.
Di salah satu sesi, anak-anak diajak duduk melingkar sambil mendengarkan cerita bergambar tentang persahabatan lintas agama. Mereka tampak antusias, berebut menjawab pertanyaan guru, dan bahkan menirukan tokoh-tokoh dalam cerita dengan ekspresi lucu. Dari situ, guru menekankan pesan sederhana: “Meski berbeda, kita tetap bisa bersahabat.”