Mohon tunggu...
KANG NASIR
KANG NASIR Mohon Tunggu... Administrasi - petualang

Orang kampung, tinggal di kampung, ingin seperti orang kota, Yakin bisa...!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menelusuri Jejak Kemiliteran Brigjend Ki Syam'un (1)

26 Mei 2018   22:39 Diperbarui: 28 Mei 2018   22:49 1142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Brigjend. Ki Syam'un, pendiri Al-Khairiyah Citangkil, foto www.intelijen.co.id.

Dugaan ini saya ambil setelah saya membaca buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang didalamnya menyebutkan adanya keterangan saksi  tentang motivasi untuk melakukan huru hara di Cilegon dalam bulan Juli 1888 dimana di sebutkan Nyai Kasidah, Istri Ki Wasid bersaksi bahwa "penduduk desa terus menerus bertanya kepada Haji Wasid mengapa orang desa terus menerus harus dicacar, dan ia menjawab bahwa mereka tidak usah memperdulikan soal itu lagi".

Dugaan ini sangat kuat karena menurut penelusuran sejarah sebagaimana ditulis Sartono Kartono Kartodirdjo, saat itu Ki Wasid mempunyai tiga orang istri, adapun istri yang ketiga --tanpa menyebut nama -- di Bojonegara dimana saat itu Ki Wasid bertempat tingga di Beji Bojonegara yang dijadikan sebagai basis perjuangan Geger Cilegon 1888.

Darah pejuang Ki Syam'un tidak berhenti pada kakeknya saja (Ki Wasid), namun hingga garis keturunan keatasnya juga termasuk pemberontak. Ki Wasid sendiri lahir di grogol, ayahnya bernama Abas adalah seorang pejuang yang ikut dalam pemberontakan Ki Wakhia tahun 1850.

Dalam suasana penjajahan Belanda itulah Ki Syam'un lahir di Citangkil. Kampung Citangkil ini terkenal penduduknya yang anti Belanda sepanjang abad 19. Lurah Citangkil yang bernama Nasid, pada tahun 1850 juga ikut dalam pemberontakan Ki Wakhia, adapun lurah Nasid ini adalah sahabat sekaligus punya ikatan kekerabatan dengan ayahnya Ki Wasid (Abas) karena istri Abas adalah kemanakan lurah Nasid yang bernama Jein (ada kemungkinan Jeinab).

Sedangkan pada zaman Ki Wasid, Kampung Citangkil juga dijadikan sebagai salah satu basis tempat perencanaan gerakan Geger Cilegon 1888 dan penduduknya banyak yang ikut memberontak. Hal ini terbukti bahwa diantara penduduk Citangkil ada yang ditangkap/dibunuh dan di buang oleh Belanda seperti Haji Arbi, Haji Kasiman dan Haji Jaya (ditangkap dan dibunuh), sedangkan keponakan H Wasid yakni Hasanudin ditangkap lalu dibuang ke Padang.

Para Pejuang Geger Cilegon 1888 yang ditangkap Belanda. Foto Dok. KTLV
Para Pejuang Geger Cilegon 1888 yang ditangkap Belanda. Foto Dok. KTLV
Masa kecil Ki Syam'un,  rajin belajar agama, pada usia 4 tahun, Ki Syam'un belajar agama kepada  KH Sa'i di Delingseng selama dua tahun, kemudian berguru kepada KH Jasim di Kamasan selama kurang lebih empat tahun. Untuk lebih mendalami ilmu agama, pada usia 11 tahun, Ki Syam'un dikirim ke Mekkah.

Mekkah memang menjadi pusat pembelajaran bagi orang  Indonesia yang ingin belajar agama sejak sebelum abad 20. Bahkan ulama ulama terkemuka di Indonesia pada abad 19 hampir seluruhnya lama bermukim di Mekkah untuk belajar agama bahkan menjadi pengajar agama di  Masjidil Haram.

Ulama Banten yang menjadi pemantik Pemberontakan Cilegon 1888, hampir seluruhnya juga pernah belajar agama Islam dan berguru kepada Ulama Banten yang sudah menjadi pengajar di Masjidil Haram. Sebut saja misalnya Syeikh Nawawi Al-Bantani, ia adalah ulama Banten yang menjadi guru di Masjidil Haram pada abad 19 hingga ia mendapat julukan Sayyid Ulama Hijaz karena karyanya yang terkenal diseluruh dunia. Orang Banten menyebutnya Ki Nawawi, hingga ahir hayatnya tetap tinggal di Mekkah dan meninggal di Mekkah.

Syeikh Abdul Karim juga sangat terkenal, Ulama yang berguru kepada Syeikh Hatib Sambas dan satu angkatan dengan Ki Nawawi merupakan ulama yang memompakan semangat jihad fi sabillah kepada masyarakat dan ulama Banten saat pulang ke Banten awal tahun 1880-han hingga fanatisme anti Belanda muncul dimana mana dan ujungnya terjadi pemberontakan Cilegon 1888. Syeikh Abdul Karim kembali ke Mekkah tahun 1886 karena dipanggil gurunya Syeikh Hatib Sambas untuk menggantikan kepemimpinan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiah.

Tahun 1910, setelah Ki Syam'un selesai belajar di Mekah, Ki Syam'un melanjutkan Pendidikan akademis di Univesitas Al-Azhar Cairo Mesir hingga tahun 1915. Bisa jadi Ki Syam'un adalah orang Banten yang pertama menempuh Pendidikan di Perguruan Tinggi Islam terkemuka di dunia pada awal abad 20.

Selesai dari Al-Azhar, Ki Syam'un pulang kampung, mengabdi dan mengembangkan Pendidikan Islam dengan mendidikan pesantren di Citangkil pada tahun 1916. Layaknya Pendidikan tradisional, system pembelajaran di pesantren Citangkil ini  menggunakan metode sorogan. Metode ini dipertahankan selama kurang lebih 9 tahun, setelah itu Ki Syam'un merubah system pembelajaran dari sorogan ke metode kelas yakni dengan system Madrasah pada tahun 1925 dengan nama Madrasah Al-Khairiyah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun