Program makan bergizi gratis (MBG) sejatinya lahir dari niat mulia, memastikan setiap siswa Indonesia mendapatkan asupan nutrisi yang cukup demi mendukung tumbuh kembang dan prestasi belajar. Namun, alih-alih membawa manfaat, realitas di lapangan justru menunjukkan kasus-kasus keracunan massal yang menimpa puluhan hingga ribuan siswa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar, mengapa program yang seharusnya meningkatkan kualitas hidup justru berbalik menjadi ancaman kesehatan?
Berbagai kasus keracunan siswa akibat program makan bergizi gratis (MBG) mencerminkan lemahnya sistem pengendalian mutu dan keamanan pangan yang seharusnya menjadi prioritas utama dalam penyediaan makanan massal. Berdasarkan perspektif isi buku "Root Cause Analysis Handbook" oleh Vanden Heuvel tahun 2005, akar masalah bukan sekedar pada bahan makanan yang tercemar, melainkan pada kegagalan sistemik dalam perencanaan, pengawasan, dan eksekusi.
Setiap insiden harus ditelusuri hingga ke akar penyebab sistemik, bukan hanya berhenti pada gejala. Pendekatan ini membawa kita pada analisis yang lebih mendalam tentang kelemahan struktural dalam perencanaan, pengawasan, dan eksekusi program. Analisis mendalam mengungkap bahwa penyebab utama mencakup 4(empat) aspek, yaitu:
Pertama, lemahnya standar pengadaan bahan pangan. Banyak bahan pangan yang dipasok oleh vendor lokal tidak melalui proses seleksi dan sertifikasi yang ketat. Hal ini sesuai temuan Duke Okes (2019) yang menekankan bahwa akar masalah sering kali terletak pada process design yang buruk, bukan hanya pada human error. Dalam kasus ini, kegagalan sistem pengadaan membuka ruang bagi pemasok untuk menggunakan bahan berkualitas rendah atau hampir kedaluwarsa.
Kedua, pengawasan rantai pasok yang minim. Dalam rantai distribusi makanan, risiko food fraud (pemalsuan pangan) sangat tinggi, sebagaimana dijelaskan John W. Spink (2019). Pemasok bisa saja mengganti daging dengan daging campuran atau mengganti bahan organik dengan bahan murah tanpa label yang jelas. Tanpa sistem traceability (ketertelusuran), sulit memastikan apakah bahan benar-benar aman sejak dari petani, distributor, hingga dapur sekolah.
Ketiga, kelemahan dalam penerapan standar keamanan pangan di tingkat pengolahan. Seperti ditegaskan Ron Kill (2012) dalam "The BRC Global Standard for Food Safety", keamanan pangan harus diterapkan mulai dari penyimpanan bahan mentah, kebersihan peralatan, higienitas tenaga kerja, hingga cara distribusi makanan jadi. Banyak katering sekolah yang tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang terdokumentasi, tidak memiliki sertifikasi higienitas, bahkan tidak didukung fasilitas dapur yang memenuhi syarat. Akibatnya, kontaminasi silang (cross-contamination) mudah terjadi.
Keempat, lemahnya sistem audit dan evaluasi berkelanjutan. Program makan bergizi gratis lebih menekankan kuantitas (jumlah siswa yang menerima makanan) dibanding kualitas dan keamanan. Hal ini bertentangan dengan prinsip RCA (Okes, 2019) yang menekankan pentingnya corrective action dan preventive action (CAPA) setelah sebuah insiden terjadi. Tanpa evaluasi yang konsisten, kesalahan yang sama akan terus berulang.
Berdasarkan temuan di atas, solusi harus menyasar akar masalah, bukan sekedar gejala. Solusi nyata harus berangkat dari penerapan root cause analysis ala Okes (2019) yang menekankan bahwa setiap insiden harus ditelusuri hingga ke akar sistemik, bukan sekedar mencari siapa yang salah.
Pertama, pemerintah harus menetapkan standar mutu pengadaan bahan baku yang terukur dan bersifat mandatory (pemasok bersertifikasi BPOM atau halal-MUI), Setiap batch bahan pangan harus disertai dokumen certificate of analysis (COA), dengan mekanisme audit berkala oleh pihak independen.
Kedua, rantai distribusi makanan harus dipantau secara ketat melalui sistem traceability (Menerapkan sistem barcode atau digital traceability) agar setiap bahan dapat ditelusuri asal-usulnya, untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang dan kecurangan, dan Melakukan audit mendadak terhadap pemasok untuk mencegah food fraud.