Maskapai penerbangan Garuda Indonesia pada tahun 2024 masih mencatat kerugian bersih meskipun pendapatannya mulai pulih, dengan beban utang dan kebutuhan restrukturisasi yang besar. Berdasarkan data laporan keuangan yang ada, kondisi maskapai Garuda Indonesia pada FY-2024 menunjukkan pemulihan pendapatan namun akan tetapi mencatat rugi bersih (operating revenue naik menjadi sekitar USD 3,4 miliar tetapi mencatat rugi bersih sekitar USD 69,8 juta), serta sedang dalam fase restrukturisasi dan tekanan biaya serta kebutuhan peremajaan armada.
Sementara itu, maskapai penerbangan Pelita Air dalam beberapa tahun terakhir berkembang cepat sebagai operator berbasis Airbus dengan perluasan armada A320 dan laporan kinerja operasional yang relatif menguat (indikasi profitabilitas operasi dan ekspansi rute/armada tercatat dalam publikasi industri).
Dari sisi angka, kedua maskapai pelat merah milik pemerintah tersebut memiliki posisi yang berbeda, Garuda Indonesia berfokus pada pemulihan organisasi khussunya di aspek operasional dan keuangan, sedangkan Pelita Air sedang memperluas pasar domestik. Perbedaan kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apakah merger kedua maskapai penerbangan pelat merah milik pemerintah tersebut dapat menjadi jalan keluar atau justru menciptakan masalah baru?
Salah satu isu penting yang harus dicermati yang dapat mengganggu proses merger terkait adanya penolakan dari sejumlah anggota DPR terhadap rencana merger tersebut. DPR menilai bahwa merger bisa membebani dan merusak kinerja operasional dan keuangan dari maskapai Pelita Air yang sudah sehat dan baik. Penolakan ini mempertegas bahwa merger bukan hanya dilihat dari aspek bisnis saja, akan tetapi juga harus dilihat dari aspek legitimasi politik dan sosial. Tanpa dukungan DPR, rencana merger kedua maskapai penerbangan tersebut bisa menghadapi hambatan hukum, pengawasan ketat, bahkan penolakan publik.
Opsi Merger: Potensi Keuntungan, Risiko, dan Permasalahan
Berdasarkan dari literatur yang ditulis oleh Hitt, Harrison & Ireland, "The Art of Capital Restructuring" tahun 2011, menekankan bahwa merger hanya bernilai jika tercipta sinergi yang lebih besar daripada biaya integrasi, biaya penggabungan lebih kecil dari manfaat kumulatif seperti peningkatan pangsa pasar, pengurangan biaya tetap, dan pemanfaatan kapabilitas manajerial.
Dalam konteks rencana merger Garuda Indonesia dengan Pelita Air, merger kedua maskapai berpotensi akan memperoleh benefit/keuntungan mencakup, optimasi jaringan rute dengan mengurangi persaingan antar kedua maskapai, dapat melakukan efisiensi terkait dnegan pembelian pesawat, bahan bakar, dan suku cadang melalui skala ekonomi yang lebih besar, dapat dilakukan sinergi operasional seperti pemanfaatan MRO, IT, dan sistem procurement bersama sesuai prinsip "creating shareholder value" dan restrukturisasi modal, serta segmentasi layanan yang lebih jelas, misalnya Garuda Indonesia untuk melayani rute full-Service Internasional, sedangkan Pelita Air berfokus untuk melayani rute domestik point-to-point.
Jika merger dijalankan dengan perencanaan yang matang, merger kedua maskapai tersebut dapat meningkatkan produktivitas sebagaimana ditekankan dalam artikel ilmiah yang berjudul "Mergers and Productivity" yang diterbitkan oleh University of Chicago Press, tahun 2007.
Selain berpotensi memberikan benefit/ keuntungan, merger kedua maskapai juga berpotensi menyebabkan terjadinya risiko dan permasalahan. Louis Kaplow (2024) memperingatkan agar analisis merger harus memperhitungkan efek ekonomi makro dan dinamika persaingan, sehingga merger yang hanya sekedar menggabungkan kapasitas tanpa peningkatan efisiensi produktivitas dapat menghasilkan hasil yang buruk atau memicu pengawasan regulatori.
Kebijakan klasik terkait efisiensi ekonomi dan kajian tentang produktivitas merger (Kaplan, 2007) menegaskan bahwa outcome dari merger sangat bergantung pada kemampuan mengintegrasikan operasi, kultur, dan sistem karena merger sering gagal meningkatkan produktivitas jika dilakukan tanpa program integrasi yang kuat.
Potensi risiko yang akan terjadi terkait dengan beban utang dan tata kelola Garuda Indonesia yang akan membebani Pelita Air bila tidak dipisahkan. Warisan hutang Garuda Indonesia dan permasalahan tata kelola/hukum (kasus masa lalu dan proses restrukturisasi) bisa mengkontaminasi kinerja Pelita Air jika tidak diisolasi dengan struktur korporasi/penyelesaian hutang yang jelas. Perbedaan budaya kedua organisasi berpotensi menghambat integrasi sehingga akan memperbesar biaya dan akan menurunkan level pelayanan meskipun bersifat sementara. Biaya integrasi (penyatuan sistem IT, SDM, dan brand) berpotensi menggerus manfaat sinergi yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan analisis Kaplow (2024), merger dapat menurunkan tingkat persaingan, sehingga regulator dan publik bisa melihatnya sebagai langkah monopoli, dan berpotensi kehilangan fokus strategi segmen (full-service vs hybrid/low-cost) sehingga merusak merek masing-masing maskapai tersebut.
Jika opsi merger harus diambil dan dilakukan, maka untuk mencegah potensi risiko dan masalah yang akan timbul sebaiknya sebelum melakukan merger perlu dilakukan due diligence keuangan & operasional yang sangat ketat, memisahkan aset problematik (bad bank approach) dan menyusun mekanisme alokasi hutang Garuda Indonesia sehingga Pelita Air tidak menanggung liabilitas yang tidak wajar. Perlu merancang integration management office (IMO) yang profesional untuk 12--36 bulan di awal sebelum merger dengan KPI produktivitas terukur seperti unit cost per ASK, on-time performance, dan NPS pelanggan. Harus memanfaatkan capital restructuring/re-kapitalisasi, divestasi aset non-inti, atau struktur holding yang menjaga merek tetap berbeda untuk segmen pasar yang berbeda sesuai dengan yang ada pada artikel ilmiah "Art of Capital Restructuring" untuk melindungi seluruh nilai pemegang saham.
Potensi Risiko dan Permasalahan Jika Merger Tidak Dilakukan
Jika rencana merger batal dilakukan, masalah juga tetap ada. Garuda Indonesia dan Pelita Air akan berpotensi saling bersaing di pasar domestik dengan risiko perang harga yang akan merugikan kedua maskapai pelat merah tersebut dan pada akhirnya pemerintah juga yang akan menanggung kerugian. Selain itu, kedua maskapai bisa kehilangan kesempatan sinergi dalam MRO, pembelian pesawat, dan aliansi operasional. Pelita Air yang terus berkembang juga dapat menggerus pangsa pasar Garuda Indonesia, sehingga posisi Garuda Indonesia dalam proses pemulihan bisa semakin sulit bila struktur biaya tak berubah.
Terkait hal tersebut, untuk mencegah potensi terjadinya risiko dan permasalahan akibat tidak dilakukan merger kedua maskapai pelat merah milik pemerintah, maka perlu diambil langkah strategis dengan cara membangun aliansi strategis di aspek komersial/operasional (joint procurement, shared MRO agreements, code-share/feeder agreements) untuk menangkap sebagian sinergi tanpa risiko integrasi penuh. Melakukan spin-off unit MRO atau pembentukan subsidiary gabungan yang dimiliki bersama untuk mengoptimalkan utilisasi hangar dan tenaga ahli. Melakukan program efisiensi biaya di Garuda Indonesia yang berfokus pada restrukturisasi modal, renegosiasi kontrak sewa pesawat, dan program perbaikan rute dengan menghilangkan rute yang rugi, hal ini selaras dengan bukti bahwa merger tidak selalu meningkatkan produktivitas kecuali disertai perbaikan manajerial yang nyata.
Merger antara maskapai penerbangan Garuda Indonesia dengan Pelita Air hanya layak dilakukan bila ada jaminan sinergi nyata, pemisahan hutang, serta legitimasi publik melalui persetujuan DPR. Jika tidak, maka jauh lebih realistis untuk memilih jalur kolaborasi/ aliansi strategis non-merger. Keputusan akhir terkait dengan merger atau tidak, harus berdasarkan keseimbangan beberapa faktor yaitu; faktor bisnis, regulasi, dan politik agar tidak menimbulkan masalah jangka panjang dikemudian hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI