Mohon tunggu...
Mochammad Mukti Ali
Mochammad Mukti Ali Mohon Tunggu... CEO Global Teknik Engineering dan Rektor Universitas INABA

Guru Besar di Global Academy of Financial and Management (GAFM) pada bidang Strategi Manajemen Bisnis dan Manajemen Pemasaran

Selanjutnya

Tutup

Financial

Apakah Garuda Indonesia Perlu Merger dengan Pelita Air ??

24 September 2025   16:51 Diperbarui: 24 September 2025   16:51 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Merger antara Garuda Indonesia dengan Pelita Air (Mukti.Dok.)

Maskapai penerbangan Garuda Indonesia pada tahun 2024 masih mencatat kerugian bersih meskipun pendapatannya mulai pulih, dengan beban utang dan kebutuhan restrukturisasi yang besar. Berdasarkan data laporan keuangan yang ada, kondisi maskapai Garuda Indonesia pada FY-2024 menunjukkan pemulihan pendapatan namun akan tetapi mencatat rugi bersih (operating revenue naik menjadi sekitar USD 3,4 miliar tetapi mencatat rugi bersih sekitar USD 69,8 juta), serta sedang dalam fase restrukturisasi dan tekanan biaya serta kebutuhan peremajaan armada.

Sementara itu, maskapai penerbangan Pelita Air dalam beberapa tahun terakhir berkembang cepat sebagai operator berbasis Airbus dengan perluasan armada A320 dan laporan kinerja operasional yang relatif menguat (indikasi profitabilitas operasi dan ekspansi rute/armada tercatat dalam publikasi industri).

Dari sisi angka, kedua maskapai pelat merah milik pemerintah tersebut memiliki posisi yang berbeda, Garuda Indonesia berfokus pada pemulihan organisasi khussunya di aspek operasional dan keuangan, sedangkan Pelita Air sedang memperluas pasar domestik. Perbedaan kondisi ini menimbulkan pertanyaan, apakah merger kedua maskapai penerbangan pelat merah milik pemerintah tersebut dapat menjadi jalan keluar atau justru menciptakan masalah baru?

Salah satu isu penting yang harus dicermati yang dapat mengganggu proses merger terkait adanya penolakan dari sejumlah anggota DPR terhadap rencana merger tersebut. DPR menilai bahwa merger bisa membebani dan merusak kinerja operasional dan keuangan dari maskapai Pelita Air yang sudah sehat dan baik. Penolakan ini mempertegas bahwa merger bukan hanya dilihat dari aspek bisnis saja, akan tetapi juga harus dilihat dari aspek legitimasi politik dan sosial. Tanpa dukungan DPR, rencana merger kedua maskapai penerbangan tersebut bisa menghadapi hambatan hukum, pengawasan ketat, bahkan penolakan publik.

Opsi Merger: Potensi Keuntungan, Risiko, dan Permasalahan

Berdasarkan dari literatur yang ditulis oleh Hitt, Harrison & Ireland, "The Art of Capital Restructuring" tahun 2011, menekankan bahwa merger hanya bernilai jika tercipta sinergi yang lebih besar daripada biaya integrasi, biaya penggabungan lebih kecil dari manfaat kumulatif seperti peningkatan pangsa pasar, pengurangan biaya tetap, dan pemanfaatan kapabilitas manajerial.

Dalam konteks rencana merger Garuda Indonesia dengan Pelita Air, merger kedua maskapai berpotensi akan memperoleh benefit/keuntungan mencakup, optimasi jaringan rute dengan mengurangi persaingan antar kedua maskapai, dapat melakukan efisiensi terkait dnegan pembelian pesawat, bahan bakar, dan suku cadang melalui skala ekonomi yang lebih besar, dapat dilakukan sinergi operasional seperti pemanfaatan MRO, IT, dan sistem procurement bersama sesuai prinsip "creating shareholder value" dan restrukturisasi modal, serta segmentasi layanan yang lebih jelas, misalnya Garuda Indonesia untuk melayani rute full-Service Internasional, sedangkan Pelita Air berfokus untuk melayani rute domestik point-to-point.

Jika merger dijalankan dengan perencanaan yang matang, merger kedua maskapai tersebut dapat meningkatkan produktivitas sebagaimana ditekankan dalam artikel ilmiah yang berjudul "Mergers and Productivity" yang diterbitkan oleh University of Chicago Press, tahun 2007.

Selain berpotensi memberikan benefit/ keuntungan, merger kedua maskapai juga berpotensi menyebabkan terjadinya risiko dan permasalahan. Louis Kaplow (2024) memperingatkan agar analisis merger harus memperhitungkan efek ekonomi makro dan dinamika persaingan, sehingga merger yang hanya sekedar menggabungkan kapasitas tanpa peningkatan efisiensi produktivitas dapat menghasilkan hasil yang buruk atau memicu pengawasan regulatori.

Kebijakan klasik terkait efisiensi ekonomi dan kajian tentang produktivitas merger (Kaplan, 2007) menegaskan bahwa outcome dari merger sangat bergantung pada kemampuan mengintegrasikan operasi, kultur, dan sistem karena merger sering gagal meningkatkan produktivitas jika dilakukan tanpa program integrasi yang kuat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun