Mohon tunggu...
Mochammad Ariq Ajaba
Mochammad Ariq Ajaba Mohon Tunggu... Pramusaji - Mahasiswa Pemikiran Politik Islam IAIN Kudus

Seorang mahasiswa yang berusaha peduli tentang dunia perpolitikan di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menyelamatkan Demokrasi dari Hantaman Politik Uang

12 April 2021   13:31 Diperbarui: 12 April 2021   13:30 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: fajar.co.id

Indonesia termasuk negara demokrasi, dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan kedaulatan dipegang sepenuhnya oleh rakyat. Sebagaimana tercantum pada UUD 1945 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi "Kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar." Salah satu hal yang menonjol bahwa Indonesia termasuk negara demokrasi adalah adanya penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan daerah (Pilkada) yang dilaksanakan secara langsung. Terlihat jelas bahwa adanya pemilu dan pilkada ini merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat untuk memilih jabatan-jabatan pemerintahan legislative dan eksekutif, mulai dari tingkat pusat sampai dengan tingkat daerah.

 Namun, seiring berjalannya penyelenggaraan pemilihan sebagai bentuk nyata berdemokrasi, terdapat sejumlah  kecurangan yang berpotensi merusak demokrasi di Indonesia yang harusnya berjalan dengan khidmat. Seperti kampanye hitam, politisasi SARA, ujaran kebencian, informasi hoax, dan praktek politik uang. Semua itu bisa merusak iklim demokrasi, membahayakan keutuhan persatuan dan kesatuan negara Indonesia, serta pelakunya bisa diancam dengan pidana penjara. Banyaknya potensi kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan tersebut, tulisan ini lebih menitikberatkan tentang politik uang secara mendalam, ditinjau dari perspektif Islam.

Persoalan politik uang di Indonesia bukanlah hal yang baru. Politik uang sering disebut sebagai korupsi elektoral karena politik uang  termasuk perbuatan curang dalam Pemilu dan Pilkada yang hakikatnya sama dengan korupsi. (Estlund 2012:725). Politik uang memang bisa disebut sebagai "penyakit demokrasi", bahkan terus terjadi pada setiap pagelaran pesta demokrasi di Indonesia baik Pemilu maupun Pilkada.

Menurut pandangan penulis yang diperkuat dari pemahaman literatur, sebetulnya menjelang pemungutan suara, masyarakat yang mempunyai hak pilih akan mendapatkan tawaran berupa uang dari oknum-oknum tertentu dengan kesepakatan supaya memilih calon tertentu. Sikap masyarakat dalam menindaklanjuti tawaran tersebut setidaknya ada empat kriteria. Pertama, menerima uang dan memilih pasangan calon tersebut, sikap ini bisa disebut sebagai pemilih transaksional (wujud dari politik uang). Kedua, menerima uangnya dan tidak memilih calon tersebut, sikap ini pun juga termasuk wujud politik uang bahkan pengelabuhan terhadap orang yang memberi uang. Ketiga, menolak uang dan tidak memilih calon tersebut. Keempat, melaporkannya ke pihak berwenang seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Dari ke-empat sikap tersebut, sikap ketiga dan keempat yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat sebagai pemilih. Namun sayangnya, setiap penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada, penyakit demokrasi tersebut masih marak terjadi. Penulis berpendapat bahwa adanya praktek politik uang dikarenakan faktor-faktor yang berhubungan. Seperti masyarakat kurang mengetahui kemampuan leadership, wawasan intelektual dan tidak mengenal track record calon yang akan dipilihnya. Akhirnya masyarakat menggunakan hak pilihnya secara asal-asalan, mudah dipengaruhi orang lain, dan juga bahkan ditambah lagi adanya imbalan materi yang diterima.

Dalam perspektif Islam, tentu praktek politik uang sangat ditentang karena sudah termasuk perbuatan tidak terpuji (menimbulkan dosa). Mengenai memilih karena imbalan materi, Rasulullah SAW bersabda :

Artinya: Ada tiga golongan manusia yang Allah tidak sudi berbicara dengannya maupun memandangnya apalagi mengampuni dosanya. Pertama seseorang yang memiliki kelebihan rezeki tapi tidak ingin mengulurkan tangannya kepada tuna wisma, kedua orang yang memilih pemimpinnnya hanya karena pertimbangan materi, yang jika diberi ia memilih, jika tidak diberi tidak memilih. Ketiga, seseorang yang membuat janji dengan orang lain bahkan dengan sumpah dengan nama Allah tapi mengingkarinya.... (H.R. Bukhari-Muslim).

Dari rujukan hadis itu saja, terlihat jelas bahwa ancaman politik uang sangat melanggar syariat Allah SWT dan jelas haram hukumnya baik si pemberi suap maupun penerima suap. Disamping itu, bagi penerima suap dalam menentukan pilihannya bukan berprinsip pada kemaslahatan untuk masa depan, padahal Islam mengajarkan untuk berusaha menghindarkan hal yang bersifat mudharat.

Lalu, bagaimana solusinya? Tentu permasalahan ini tidak boleh disepelekan, melainkan harus ditemukan problem solving-nya untuk menyelematkan demokrasi dari hantaman politik uang. Sebagai mahasiswa, penulis mencoba menawarkankan solusi dalam meminimalisir praktek politik uang. Diantaranya melalui sistem edukasi, sosialisasi, dan kolaborasi. Sistem edukasi, berarti memberikan pembelajaran dan wawasan kepada orang lain dengan pendekatan sosiologis, hukum pidana dan hukum islam tentang bahaya politik uang, ini bisa dimulai di lingkungan terdekat seperti keluarga dan tetangga sekitar. Setelah dirasa memiliki sekumpulan masyarakat yang sudah satu mindset dalam menyikapi politik uang, barulah ke tahap sosialisasi dan kolaborasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun