Mohon tunggu...
Mochammad Asrori
Mochammad Asrori Mohon Tunggu... Guru sekolah menengah kejuruan dan penulis paruh waktu

Pehobi jalan kaki, baca buku, dan berbagi inspirasi sembari ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Salus Populi Suprema Lex Esto

24 September 2025   08:35 Diperbarui: 24 September 2025   08:43 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di halaman Kerajaan Romawi (Sumber: Asrori)

Frasa Latin yang berasal dari Cicero, orator dan filsuf Romawi. Artinya sederhana: keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Tetapi kesederhanaan sering kali menipu.

Cicero hidup di masa Republik Roma yang rapuh. Di sekelilingnya, hukum bisa dipelintir oleh mereka yang berkuasa. Kata “rakyat” bisa menjadi nama untuk semua, tetapi juga sekaligus alat untuk menghapus beberapa. Maka ketika Cicero mengucapkan kalimat itu, ia tidak hanya berbicara tentang keselamatan, tapi juga tentang bahaya, bahwa hukum bisa kehilangan arah jika tak lagi berpijak pada manusia.

Kita mengenal kata “rakyat” hampir seperti mantra. Sering dipakai dalam pidato politik, di spanduk kampanye, bahkan di dalam dokumen hukum. Namun, kita tahu di balik kata itu, wajah-wajah yang nyata; seperti petani yang gagal panen, buruh yang gajinya terlambat, atau warga miskin kota yang tersisih dari perumahan resmi; tak terlihat. Rakyat menjadi abstraksi, kata yang diucapkan tanpa tubuh, tanpa air mata.

Sejarah dunia mencatat, banyak penindas mengatasnamakan keselamatan rakyat. Di bawah kediktatoran, “rakyat” menjadi satu kesatuan yang seragam. Suara yang berbeda dianggap ancaman. Ironisnya, demi menjaga keselamatan itu, banyak manusia dikorbankan. Begitulah paradoks frasa ini. Keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, selalu tergantung pada siapa yang menentukan apa itu keselamatan, dan siapa yang bisa disebut rakyat.

Goethe pernah menulis, hukum tanpa keadilan hanyalah kekerasan yang tersusun rapi. Maka “suprema lex”—hukum tertinggi—sebenarnya tak pernah bisa dilepaskan dari pertanyaan etis: apakah setiap manusia dilihat sebagai bagian dari rakyat, atau ada yang dikeluarkan?

Kita bisa mengingat sebuah cerita kecil. Ada sebuah desa yang terancam banjir karena bendungan bocor. Pemerintah setempat memutuskan untuk merelokasi sebagian warga demi menyelamatkan kota besar di hilir. Keputusan itu, secara matematis, rasional. Tetapi di baliknya, ada rumah-rumah yang hilang, ada kuburan yang tenggelam. Keselamatan kolektif sering kali berarti kehilangan personal. Maka Salus Populi bukanlah kata-kata yang bebas risiko; ia bisa menjadi justifikasi untuk meniadakan kebebasan.

Tetapi mungkin kita masih bisa kembali ke makna yang paling sederhana, keselamatan rakyat berarti tak ada yang dibiarkan jatuh. Hukum tertinggi bukan sekadar pasal-pasal dalam undang-undang, tetapi sikap paling dasar, bahwa setiap orang, sekecil apa pun hidupnya, tetap penting.

Di sebuah jalan kecil, seorang anak bisa berjalan dengan aman tanpa takut ditabrak motor. Di sebuah kampung, seorang ibu bisa tidur tanpa cemas rumahnya digusur tanpa alasan. Di sebuah rumah sakit, seorang pasien miskin bisa berobat tanpa harus kehilangan martabatnya.

Barangkali, di situlah Salus Populi Suprema Lex Esto menemukan artinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun