Tetangga lebih sering diidentikkan dengan orang yang suka kepo. Bahkan kadang sampai tidak mempedulikan privasi orang lain.Â
Budaya kampung memang masih sering terbawa walaupun sudah hidup di kota. Â Kalau di kampung, mau tahu urusan orang lain tidak mengganggu. Kalau di kota kan beda.Â
Sehingga ada teman yang lebih suka hidup di apartemen. Bukan hanya tidak memiliki tetangga yang kepo, tapi malah tidak memiliki tetangga sama sekali. Seneng tidak diribetin dengan sikap kepo tetangga. Tapi, akibatnya dia sering merasakan kesepian juga.Â
Saya sendiri lebih suka hidup di kampung. Â Hidup di gang senggol. Kalau ada motor lewat, suaranya nyambung hingga kamar tidur.Â
Abis kerja, di rumah duduk di depan rumah. Selalu ada saja yang menyapa. Kadang juga ngajak ngobrol. Entah bermaksud ngobrol beneran atau cuma butuh rokok gue.Â
Yang jelas, ngobrol dengan tetangga juga menjadi obat capai kerja. Bisa juga untuk penyaluran kesumpekan. Â Menjadi obat sakit mental juga.Â
Mereka baik kok. Kalau lagi gak punya rokok mereka bawain. Kadang juga ngebantuin kalau lagi butuh bantuan.Â
Sudah empat kali pindah tempat di Jakarta. Kepindahan bukan karena tetangga tapi karena ekonomi. Rumah dijual untuk diwaris kemudian beli baru. Ngontrak juga karena punya keluarga sendiri. Dan akhirnya punya rumah sendiri.Â
Paling kalau ketemu untuk berjamaah solat subuh di musola komplek. Bukan lagi seperti tetangga tapi sudah seperti keluarga. Terasa ada yang hilang jika mendadak ada yang tidak subuhan.Â
Tetangga kok gitu?Â