Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ngeri Juga, Covid Sudah Ada di Rumah Sebelah

3 Juli 2021   12:28 Diperbarui: 3 Juli 2021   12:30 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini jelas seperti hari biasa. Matahari masih bersinar terang. Matahari juga masih terbit dari arah timur. 

Di depan rumah, kebun milik orang, juga masih bisa aku lihat hijaunya. Masih memberi kami oksigen yang berlimpah. Daun mangga yang sudah semakin menjulang kadang sedikit mempersulit jalan sinar matahari pagi, memang. 

Suara burung yang aku pelihara lebih dari satu tahun masih bersuara cerewet. Seolah ingin membanggakan pagi ini yang lebih cerah dari pagi kemarin yang lebih sering dikurung mendung. 

Hari ini agak beda ketika salah satu tetangga yang sama-sama bermukim di jalan buntu Mawar 5 membuat sebuah grup. Karena satu deret hanya ada 7 penghuni, maka grup itu hanya berisi enam anggota. 

Kok enam? 


Iya. Satu tetangga tidak dimasukkan ke dalam grup. Dia tepat di samping rumahku.  Alasan kenapa tidak dimasukkan karena keluarga tersebut sudah positif covid. 

Terpikir juga jika keluargaku yang positif covid, mungkinkah akan diperlakukan sama? Alangkah menyedihkan jika penderita covid didiskriminasi seperti itu. 

Ketika kutanya pada si pembuat grup, alasannya cukup masuk akal. Agar diskusi kita tidak terbaca oleh tetanggaku yang positif covid itu. 

Kita sebagai warga Jalan yang sama harus saling bantu. Di grup ini kita jadwal siapa yang bisa membantu keluarga yang positif covid itu memenuhi kebutuhan hariannya. 

Akhirnya, alasan itu dapat diterima seluruh warga. Kami menjadwalkan pemberian bantuan. Sebagai tetangga, beginilah kemanfaatan eksistensi tetangga. 

Pagi ini, aku sudah tahu tetanggaku positif covid.  Mau tak mau, perasaan takut menjadi semakin menggelayut.  Tentu sangat tidak enak menjadi positif covid. 

Kebetulan, liburan sekolah kali ini, karena tidak bisa ke mana-mana, aku sedang giat untuk menanam tanaman hias (Untuk cerita tanaman hias ini akan aku ceritakan di tulisan lain saja). Sehingga pagi ini aku keluar rumah untuk mengambil tanah di kebun depan rumah sebagai campuran pupuk yang sudah aku beli sehari sebelumnya. 

Ada anak tetanggaku yang positif covid sedang berjemur di pintu rumahnya. Ada perasaan lain ketika memandang anak itu. Padahal, dua hari yang lalu, aku tolong dia ketika terjatuh dari motor. Perasaan kemarin ketika menolong dia terjatuh dari motor, dengan perasaan saat ini ketika sudah tahu jika dia positif covid benar benar berbeda sama sekali. 

Selama ini, kita selalu dihajar bertubi-tubi oleh berita negatif tentang covid. Berita masif tentang covid dari sudut negatif ini ternyata sangat berpengaruh terhadap mental aku sebagai pembacanya. 

Oleh karena itu, kita memang harus menyeimbangkan dalam mengonsumsi berita berita covid yang akhir akhir ini semakin masif.  Kita jangan terus menerus membaca covid dalam bentuk negatif. Kita juga harus membaca berita berita positif sebagai penyeimbang. 

Jika aku membaca berita seimbang atau bahkan menyedikitkan konsumsi berita negatif, kemungkinan perasaan ku saat ini dalam memandang anak tetangga ku yang sudah kuketahui positif tak segalau ini. 

Aku masuk ke dalam rumah lagi. Aku harus keluar dengan memakai masker. Walaupun tak perlu harus dobel seperti masif diberitakan akhir akhir ini. 

Seorang teman memang memberitahu untuk selalu memakai masker ketika tetangga sudah ada yang terjangkit. Dia bahkan melampirkan berita yang menuliskan tentang penularan covid varian baru hanya dengan berpapasan belaka. 

Hidup ini seakan ditindih beban berat. Padahal, aku harus sehat. Dan salah satu yang bisa keimunan tubuh tinggi adalah berpikir positif. Ketika ini muncul dibenakku, aku mencoba menata kembali otakku yang semakin kusut oleh covid. 

Mendadak terdengar bunyi sirine ambulan. Hampir setiap sepuluh menit terdengar sirine ambulan. Kebetulan tak jauh dari rumah terdapat jalan menuju ke pemakaman. 

Ketika mendengar suara ambulan, hati ini selalu berbisik, "Ada kematian lagi. "

Dan pada saat yang sama tentu menyusup perasaan takut akan kematian diri sendiri.  Perasaan belum siap mengarungi jalan kekekalan tersebut untuk saat ini. 

Covid sudah terasa begitu dekat saat ini. Entah berapa banyak air mata yang sudah tertumpah karena covid ini. Dan entah sampai kapan. 

Aku berharap, semua warga negeri ini semakin dalam menyadari akan bahayanya jika terus mengabaikan dan merasa putus asa untuk bersabar menghadapi nya. 

Detik berlalu semakin pelan. Masa depan semakin terasa panjang. Dan kita tetap harus berbesar hati untuk tetap memiliki rasa sabar. 

Mari tetap semangat menghadapi semua ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun