Rumah tangga Kamdi sudah memasuki usia lima tahun. Usia, yang menurut beberapa orang tua di kampung, sebagai usia kritis sebuah perkawinan. Artinya, jika sebuah keluarga mampu melewati usia tersebut, maka akan menjadi keluarga sakinah selamanya.
Kamdi selalu bersyukur memiliki istri yang setia. Seorang perempuan yang selalu menghadirkan aroma kopi di pagi hari sehingga setiap pagi menjadi pagi yang selalu indah untuk Kamdi. Jangan tanyakan apa sebelum kopi. Nanti tulisan ini akan salah jalan.
Persoalan momongan yang belum bisa hadir di tengah mereka, tak pernah juga menjadi problem. Mereka berdua semakin kuat semangat untuk dinilai pantas mendapat amanah momongan. Kehangatan terus baru setiap matahari muncul di ufuk timur.
Kehidupan di perkampungan selalu ramai. Tak ada sepi sepinya. Kadang sampai malam masih ada yang gentayangan. Nyari tikuslah. Lek lekan bola lah. Dan aneka kegiatan lainnya.
Sebulan yang lalu, tempat kos Bu Komar dihuni oleh orang baru. Seorang perempuan. Sepertinya dia pegawai di kantor. Setiap pagi berangkat dengan dandanan rapi dan wangi.
"Baru? "
"Iya."
"Janda."
Potongan dialog itu begitu saja menghampiri telinga Kamdi. Dan entah kenapa menjadi begitu beda ketika mendengar dialog itu. Mungkin ada setan yang sedang bekerja pelan pelan. Kamdi belum begitu menyadari.
Dan di suatu sore. Ketika Kamdi lewat di depan kos kosan itu, perempuan itu meminta tolong untuk memasangkan lampu kamarnya yang mendadak meninggal, katanya. Ada rasa enggan. Tapi memang hanya dia yang waktu itu ada di situ dan bisa dimintain tolong. Masa tak mau?