Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Menjadi Guru yang Baik dari Sentuhan Tulus Seorang Ibu

1 Desember 2020   16:06 Diperbarui: 1 Desember 2020   16:14 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi sudah mulai memudar ketika ibu memegang kakiku dan mengusapnya dengan penuh kelembutan. Pelan-pelan aku buka mata yang masih terus memaksa untuk terpejam. Tapi, elusan pelan tangan halus ibu terasa menukik hingga ke lorong hatiku yang masih begitu putih. Ya, dengan senyum yang paling manis, ibuku membisikkan kalimat, "Waktunya untuk sekolah, Mas".

Itulah kenangan paling purba seorang manusia dengan ibunya. Menyelami dunia dengan kasih sayang dan ketulusan.  Ibuku tak pernah membangunkanku dengan kata-kata yang keras, apalagi bentakan.  Ibu justru membangunkanku dengan sentuhan halus tangan kasih sayangnya yang begitu tulus. Dan, tak mungkin yang bisa menolak ketulusan itu.

Dituntunnya tangan kecilku ke sumur.  Diguyurnya kepalaku dengan siraman yang menyejukkan. Pagi, selalu membawa semangat dari hari yang mengiringi langkahku menuju sekolah.  

Ketika aku memiliki seorang anak, aku selalu mengingat pembelajaran dari ibu yang dulu aku nikmati setiap pagi. Aku bangunkan anakku dengan elusan lembut tanganku. Mungkin tak sehalus tangan ibu, tapi kasih sayangku tak mungkin kalah dari kasih sayang pernah aku dapatkan dari ibu. Dan anakku selalu mengerjap dan melempar senyum pertamanya untuk setiap pagi.  Aku tuntun dia ke kamar mandi.  Dan aku antar ke sekolah bersama kenangan dari ibu.

Ketika aku jumpai anak muridku sering terlambat, aku memanggilnya.  Mencoba menanyakan persoalan yang dihadapinya sehingga selalu hadir terlambat.  Apalagi, dia selalu datang dengan muka kusut. Seakan pergi ke sekolah adalah sebuah keterpaksaan hidup. Dia cerita tentang ibunya yang sudah harus pergi meninggalkan rumah sebelum dia terbangun.  Tak pernah dia merasakan sentuhan tangan halus ibunya.  Dia terbangun karena bunyi alarm yang memekakkan telinganya.  Dan, dia bangun dalam hati yang kosong.  Paginya adalah kesendirian.

Kamu juga pasti pernah mengalami masa-masa sulit.  Demikian juga aku.  Aku pernah tergoda oleh teman-teman untuk bersama mereka menikmati masa remaja.  Aku merokok.  Dan suatu hari, ibu tahu hal itu.  Tapi, ibu tak marah.  Ibuku tak memaki perbuatanku yang tak disenanginya itu.  Ibuku hanya memanggilku.  Ibuku mengusap kepalaku.  Dan ibuku mengungkapkan rasa sayangnya yang begitu besar kepadaku.  Ibuku menyampaikan harapannya kelak aku menjadi orang yang berguna bagi hari tuanya.

Lagi-lagi, ketulusan itu telah meluluhlantakkan hatiku.  Aku tak bisa lagi berulah.  Bukan karena ibuku marah, tapi karena ibuku memberikan kasih yang tulus.  Ibu marah? Tanyaku.  Ibu menggeleng.  Ibu tak pernah marah.  Ibu tak pernah bisa marah padamu.  Karena kamu anakku.  Kesalahan langkahmu adalah kesalahanku. Kata-kata itu justru terus terngiang.  Kata-kata itu justru terus memberi benteng agar aku tak lagi tergelincir.

Kamu sudah makan?  Tanyaku pada anak murid yang masih tampak tak karuan.  Dia menatapku.  Lalu, pelan-pelan mengangguk.  Seorang anak murid lainnya aku minta untuk membelikan nasi uduk yang ada di kantin.  Aku ajak anak itu makan berdua.  Dan dia tampak senang.  Bapak marah?  Tanyanya.  Aku menggeleng.  Untuk apa aku marah?  Kamu itu anakku.  Walaupun hanya ketika kamu di sekolah.  Kesalahanmu juga kesalahanku juga sebagai gurumu.

Cukup lama aku ajak ngobrol.  Seperti dulu aku diajak ngobrol banyak oleh ibu.  Obrolan itu kemudian diakhiri dengan elusan di kepala.  Lalu, tersenyum bersama.  

Ya, itu cuma sekelumit tentang ibu.  Seorang perempuan kampung yang hanya mampu duduk di kelas tiga sekolah rakyat.  Tak pernah tahu tentang teori-teori pendidikan.  Tak pernah.  Guru ibuku adalah kehidupan itu sendiri.  Kehidupan yang penuh ketulusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun