Terkadang seseorang takut memulai karena kegagalan yang pernah dialaminya, overthinking terhadap kemungkinan buruk yang bisa terjadi, atau kecewa akan hasil yang pernah dicoba. Bisa juga ia takut memulai karena merasa tidak memiliki potensi, insecure terhadap diri sendiri, kurang motivasi, atau menunggu momen tertentu yang belum pasti untuk melangkah.
Banyak orang mengalami pikiran dan perasaan seperti itu. Ada yang melihat puncak gunung lalu merasa dirinya tak akan pernah sampai seperti mereka yang sudah berhasil menjejakkan kaki di puncak. Ada pula yang berpikir ia hanya bisa melangkah jika Tuhan memberinya kekuatan pada momen tertentu. Misalnya, seseorang baru ingin memulai ide hebatnya ketika sudah kaya atau memiliki jabatan tinggi. Ia yakin jika saat itu tiba, ia akan bersemangat, rajin, tekun, dan penuh harapan.
Padahal, siapa yang takut mendaki gunung akan selamanya hidup di dasar jurang. Siapa yang takut melangkah tidak akan pernah sampai pada tujuan. Siapa yang takut gagal sudah gagal. Siapa yang takut salah sudah salah. Siapa yang takut kecewa sudah kecewa. Dan siapa yang malas memulai, sesungguhnya ia sudah kalah.
Syekh Muhammad Al-Ghazali dalam kitab Jadid Hayatak mengatakan bahwa seseorang yang berpandangan luas dan berjiwa lapang tidak akan dikalahkan oleh situasi apa pun, seburuk apa pun itu.
Semakin seseorang takut memulai, meragukan potensinya, dan malas melangkah, semakin lama pula ia mencapai tujuan dan impiannya. Ia akan semakin jauh dari cahaya harapan, dan semakin dekat dengan kegagalan. Sebab, tidak ada tempat di dunia ini bagi mereka yang malas memulai, takut melangkah, atau ragu terhadap dirinya. Waktu akan berpihak pada mereka yang maju dengan penuh semangat. Orang yang hanya duduk diam mustahil bisa berjalan, apalagi berlari menuju tujuan.
Jika kita menilik sejarah, orang-orang yang berhasil mencapai tujuan dan impiannya memiliki keberanian untuk memulai. Bukan karena mereka sudah hebat, melainkan karena mereka mau belajar, mencoba, dan berani melangkah.
Kenapa mereka berani memulai? Karena mereka memiliki pondasi iman yang kuat, jiwa yang dipenuhi cahaya ilahi, dan keyakinan untuk tidak kecewa pada takdir Allah. Mereka percaya bahwa kebaikan dibalas dengan kebaikan, manfaat dibalas dengan manfaat, dan perjuangan yang baik akan menghasilkan kebaikan. Sebagaimana firman Allah:
"Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)." (QS. Ar-Rahman: 60) "Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya)." (QS. Az-Zalzalah: 7)
Mereka yakin bahwa keberanian adalah bertindak maju dengan mantap, dan kekalahan sejati adalah menyerah sebelum berjuang. Mereka menatap masa depan, melupakan masa lalu, tegar dan teguh, serta tidak meratapi kekalahan. Sebab, menangisi masa lalu bukanlah sikap ksatria dan bukan sikap orang beriman. Kekalahan dan kesalahan masa lalu seharusnya menjadi pelajaran agar tidak terjatuh ke lubang yang sama. Kita tidak boleh menoleh ke belakang, kecuali untuk mengambil hikmah darinya.
Apa gunanya menangisi masa lalu tanpa motivasi? Apa gunanya memikirkan kegagalan yang sudah lewat? Apa gunanya larut dalam kesedihan dan terjebak dalam kegelapan?
Seandainya kita bisa menarik waktu kembali ke saat kegagalan itu hadir, tentu kita akan memilih langkah berbeda. Namun, waktu tidak akan pernah kembali. Yang bisa kita lakukan hanyalah memetik pelajaran darinya dan melanjutkan perjalanan dengan penuh keyakinan.