Dalam perspektif dogma, kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau belaka karena Tuhan ingin mengatakan bahwa di sisiNya, dunia nan megah ini tidak lebih berharga dari sebelah sayap nyamuk. Sedangkan dalam semesta kosmos manusia hanyalah setara Quark, partikel terkecil dari atom. Â
Tuhan sengaja menyampakkan derajat dunia setara sayap nyamuk agar manusia menghadapkan wajah kepada hari pembalasan. Sedihnya makhluk Quark ini mengambil sisi asyiknya saja: dunia sebagai alam senda gurau. Maka dunia ini dipenuhi ekstravaganza, pertunjukan orkestra kehidupan yang kontinum. Sebuah helat, festival dan tarian – tarian superfisial dipertontonkan tanpa jeda. Satu persoalan menindih persoalan lainnya. Lalu meleleh bersama kumparan waktu. Tidak ada yang selesai secara esensi.
Penyelesaian atas suatu konflik diletakkan di urutan akhir, yang dipentingkan adalah ekstravaganza, proses yang dramatik – teatrikal akan dipertontonkan kepada khalayak.
Yang menjadi bintang adalah siapa yang mampu menguasai gelanggang, sedangkan pahlawan bertopeng hanya ada dalam fiksi Hollywood.
Masalah – masalah besar kemanusiaan sebenarnya muncul dari kegagalan kita untuk melihat kompleksitas masalah. Kita cenderung melakukan simplikasi, terkadang memakai kacamata kuda, ceteris paribus dan rabun jauh.
Salah siapa? kita sebagai jelata juga yang salah. Saban hari asyik masyuk dan terayun – ayun dalam rentak estravaganza, tanpa mampu mengikatkan diri sekaligus meningkatkan diri secara paripurna kepada sebuah prinsip kuat idealisme, serta tak mau mengampu kepada dogma yang dikaji mendalam, kepada nilai – nilai universal yang dapat dijadikan batu pijakan. Kita yang bersimbah peluh dan mati terinjak demi mengerumuni sebuah panggung pertunjukan ekstravaganza adalah budak – budak duniawi penyembah sayap nyamuk. Di lain sisi kita berperan sebagai bebek – bebek dogmatis yang dangkal.Â
Dalam meniti alam senda gurau ini baiknya kita menoleh kembali ke kebijaksanaan kuno phronesis (meminjam Sindhunata), ke pengembangan illative sense, ke penajaman kembali rahsa (kebatinan) – bukan suasana kebatinan yang dilantunkan oleh lidah politisi. Inilah sebuah pekerjaan maha besar yang makan waktu panjang dan berujung utopia. Sebuah antitesis terhadap egoisme dan egotisme yang cupat dan miopik.
Di sinilah filsafat bisa mengambil peran penting. Seperti ujaran seorang filsuf: dalam filsafat, kita selalu menemukan pandangan – pandangan yang bertentangan tentang masalah apa saja. Dengan filsafat, kita bisa memainkan dialektika yang dinamis ketimbang pergulatan yang saling memusnah.
Filsafat bukanlah ilmu yang mewah dalam arti bisa dipelajari oleh siapa saja dan tidak selalu menjadi wilayah kerja para filsuf. Filsafat adalah suatu disiplin ilmu mengenai hakikat terdalam segala sesuatu dengan menerapkan prosedur berpikir ilmiah, yakni metode logis – analitis, seraya memanfaatkan hasil daya pikir yang absah.
Tentunya sebagai jelata, kita tak ingin selamanya bertahan sebagai sampah demokrasi. Kita mesti berpindah kuadran. Laksanakan proses dialektika ke dalam diri dan berdiskusi bersama orang – orang terdekat. Jadilah manusia yang paham esensi, bukan justru mempeributkan gejala – gejala permukaan di kedai – kedai kopi hingga dinding sosial media.
Banyak perdebatan ilmiah di televisi yang hanya mengelupas kulit persoalan kita jadikan sebagai wacana kekaguman. Sementara sebagian di antaranya adalah produk artifisialisasi kapitalisme televisi yang jauh dari kata holistik. Dalam bahasa postmodernistik, tanpa berfilsafat kita secara tak sadar sudah terjebak dalam logosentrisme, ke dalam bias – bias yang menyertai setiap wacana. Filsafat dalam metodologi berpikirnya yang ketat memaksa kita untuk mengupas tuntas sembarang fenomena secara intelektual dan ilmiah.