Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

U-distopia | Wajah Baru dalam Sifat Logis Tuhan

5 Februari 2023   08:56 Diperbarui: 5 Februari 2023   09:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Apakah Tuhan sama seperti kita, ikut menebak-nebak tentang hari esok? Untuk mendesakkan peranti kehendak bebas (free will) ke dalam gerak semesta, kita secara ambigu tengah mendegradasi Tuhan. Padalah kita tahu bahwa Tuhan itu memiliki kemahatahuan ilahi (divine omniscience) yang absolut.

Apakah gerak gerik manusia dan seluruh tabiat kosmos bersifat liar dan acak, atau dalam keteraturan penuh dan presisi? There is no use crying over spilled milk, tidak ada gunanya menangisi susu yang tumpah, itu hanya berarti bahwa tidak ada yang bisa dilakukan oleh siapa pun sekarang; tumpahnya susu berada di luar kendali kausal kita.

Tuhan harusnya bukan sang penebak-nebak. Penyair Yunani kuno Hesiodos berseru, tidak satupun daun jatuh di Athena tanpa diketahui oleh Zeus. Syair Hesiodos seolah diislamkan belasan abad kemudian, melalui al-An'aam: 59___ dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).

Jika maut sepenuhnya ada di tangan Tuhan, lalu siapa yang ada di belakang seorang pembunuh? Jika Dia yang meniupkan ruh dan seorang bayi lahir atas takdir-Nya, lalu siapa yang menghasut seorang pezina dan pemerkosa hingga bayi itu lahir? Pertanyaan-pertanyaan kurang ajar seperti ini bahkan dihindari oleh para fatalis teologis, lalu memilih argumen yang lebih sopan untuk membanting para libertarian penganut kehendak bebas.

Bahkan premis-premis fatalisme teologis maupun logis telah diasingkan dari ruang pengadilan demi penghakiman kehendak bebas, lalu orang-orang yang mengaku bertuhan, telah menyudutkan argumen pre-determinisme Tuhan ke dalam kotak-kotak dogma dan metafisika yang dituduh berpotensi mengacaukan hukum-hukum positif.

Di abad fajar saat jejak-jejak pikiran lahir, Aristoteles sudah memberi solusi dengan menempatkan Tuhan sebagai Sang Maha Tinggi, cuasa prima, penyebab awal semesta yang segera keluar dari ruang dan waktu. Ini dianggap dapat menjadi penyelamat muka Tuhan dari rasa bersalah sebagai otak pelaku atas "kejahatan" takdir.

Atheisme menjadikan ini sebagai simpulan, "Tuhan tidak mungkin jahat, maka Tuhan tidak ada".  Mereka menolak Tuhan justru karena mengagungkannya sebagai yang suci bersih, ironi dengan fanatisme picik, yang merendahkan Tuhan di medan pembantaian. Agama-agama dianggap tumbuh sebagai metode untuk mengecilkan Tuhan galaksi sebatas milik etnik tertentu dan partisan yang mudah murka.

Kaji soal ini telah lari dari apa yang seharusnya ingin saya katakan dalam risalah U-distopia ini. Yang sebenarnya dimaksud untuk memblokade jalan pikiran libertarian-eksistensialisme dan membenturkannya dengan suatu sifat logis Tuhan yang tak terpecahkan. Ini akan menjadi berbelit-belit, saya tidak tahu cara membuat garis lurus terhadap dilema kemanusiaan kita.

Apakah pikiran manusia dan horizon peristiwa yang mengitarinya adalah bagian dari kehendak bebas? Bahkan fakta hari ini kecerdasan buatan dapat mengambil alih kehendak bebas manusia untuk menentukan keputusan terbaik, dengan hanya mengerkah (crunching) algoritma kita.

Sebelumnya telah bermunculan para ahli yang menyebut kehendak bebas hanyalah ilusi setelah terhasut oleh Darwin, Huxley, dan Einstein. Dan bahkan apa yang kita sebut sebagai pikiran itu sebenarnya tidak nyata, kata Profesor Donald Hoffman pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun