Dari kemalasan dan kelemahan mengulik tinjauan lain, tanpa data pembanding, dan didorong oleh spirit kultus individu, serta menyirami pohon kerdil sejarah dengan angan-angan.
Meski kita akan sampai kepada timbunan infromasi, namun Big Data tidak menyerap semuanya sebagai rantai data dalam menyusun urutan langkah logis algoritma.
Pertanyaannya seberapa sampah konten yang telah kita bagi, seberapa bermutu percakapan digital yang kita buat, seberapa mampu kita membedakan antara voice dan noise.
Bicara humanisme, bukan berarti mempercayai terus menerus manusia sebagai mesin pemikir paling unggul di muka bumi, dibanding itik atau beruang kutub misalnya.
Hanya seujung kuku dari kita yang bisa sampai ke level Kasparov, tapi mesin kecerdasan semacam Deep Blue dapat diproduksi setiap saat. Percakapan-percakapan di antara kita hanya berakhir sendawa, di tengah jamuan-jamuan hedonistik berbalut pengayaan ilmu.
Big Data sebenarnya dengan mudah dapat membungkam keputusan-keputusan politik, kebijakan trial and error, penetapan harga, pengentasan kemiskinan, subisidi tepat guna, kebijakan anggaran, hingga kepada memilih pemimpin paling tepat tanpa kebisingan demokrasi elektoral.Â
Namun, kapitalisme oligarki selalu memelihara kebodohan, dan mematenkan struktur-struktur politik tradisional, karena jika melakukan sebaliknya, sama dengan melempar diri mereka sendiri keluar jendela.
Harus diakui kita memerlukan mesin pengolah data. Terlalu banyak biaya, energi, dan waktu yang terbuang percuma gegara kesalahan fatal dalam pengolahan data.Â
Kita hanyalah makhluk mortal, dengan algoritma biologis yang tidak kita bangkitkan. Bahkan untuk mengalahkan sebuah kalkulator sederhana.
Kita sedang melimpahkan segenap pertanyaan kepada mesin pencari data: Google dan semacamnya. Ini jelas telah menghemat semua dimensi ketimbang membongkar rak-rak perpustakaan.Â