Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dialog Socratik: Kita Tak Punya Pikiran Otentik?

15 Desember 2021   08:02 Diperbarui: 15 Desember 2021   08:13 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Socrates: hollywoodreporter.com

Indonesia adalah salah satu negeri yang metode dialog cara Socratik hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Kita sebenarnya tidak memiliki nalar kritik. Kita telah lupa mengosongkan diri. Salah satu sebabnya karena filsafat tidak diajarkan di sekolah menengah. Pada usia ketika kita masih kosong, untuk tetap kosong.

Ketika seseorang secara kebetulan mengenal filsafat di lingkup kampus atau pertemanan dengan literasi, dirinya telah hampir penuh dengan teorema dan doktrin yang kemudian membentuknya menjadi orang lain, tanpa pikiran orisinil. Akibatnya dialog yang terjadi hanyalah mempertahankan argumen atau prinsip yang secara dogmatik telah kita serap dari orang lain.

Pencarian tak kenal lelah akan hikmah ini membuat seorang filsuf sejati menjadi atopos (tak dapat dikelompokkan). Dalam Symposium, Plato menampilkan Socrates menjelaskan pencarian kebijaksanaan sebagai kisah cinta yang menggenggam seluruh diri sang pencari hingga dia mencapai ekstasis yang merupakan pendakian, tahap demi tahap, ke tingkatan ujud yang lebih tinggi.

Ini yang menjadi sebab Socrates berbeda dengan intelektual pada zamannya yang dikenal sebagai para oportunis Sofis. Mirip dengan tabiat rata-rata kita sekarang yang mengembangkan intelektualitas mereka secara terporos dan superfisial.

Kaum Sofis di Athena kuno mengajarkan relativisme sebagai paham dan pandangan etis, bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya (relativisme etis kultural). Ini mirip dengan orang-orang sekarang yang hidup dalam lokus dan budaya tertentu dan merasa paling istimewa dibanding yang lain.

Ada syair tua yang tak kuingat siapa penyairnya, berbunyi: Kebenaran adalah anak daripada waktu, kata Abraham Lincoln. Di titik mana kita telah menemukan kebenaran absolut sepanjang waktu ini, apakah kita otentik, atau hanya pemalsu pikiran orang lain? ~MNT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun