Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cukup Jadi Manusia untuk Melihat Benar dan Salah dalam Bernegara

21 Februari 2021   15:34 Diperbarui: 22 Februari 2021   14:42 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: my.theasianparent.com

Cukup menjadi manusia untuk melihat benar dan salah dalam percakapan bernegara. Siapapun presidennya. Orang yang pikirannya terpenjara akan ambigu, dibatasi oleh jenama yang melekat pada persona dirinya, meringkuk abadi di dalam kotak sempit dan membuat penyangkalan atas fakta.

Sekarang bola panas itu bernama Buzzer Politik Bayaran. Secara teknis mereka tidak perlu disalahkan. Mereka hanya oportunis yang butuh makan dengan fasilitas sultan. Mereka punya alasan logis untuk melakukan hal itu. Lalu kita apa?

Sebagian kita jadi denial, menyangkal fakta hanya karena satu frame dengan kekuasaan. Tidak lebih dari itu. Kecuali kita dalam lingkaran oligarki atau tentakel yang mengisap manisnya gula-gula kekuasaan, sehingga menjadi tampak logis secara pragmatik. Siapa pun presidennya, kalau salah dikritik, kalau benar diapresiasi. Di mana sulitnya?

Rakyat dalam demokrasi itu dituntut tidak hanya bebas secara fisik tapi juga pikiran. Manusia paripurna, ubermensch yang disebut Nietzsche adalah orang yang pikirannya tidak terkungkung dan sadar akan derajat personanya.

Kita hanya  rakyat, __saya membuat coretan untuk menegaskan__ begitu kita memilih demokrasi, kata hanya diganti menjadi adalah. Ini adalah pertempuran antara langit dan bumi. Dalam kancah demokrasi, masyarakat adalah tuan dan puan. Demokrasi adalah seruan bumi, untuk membungkam kekuasaan langit.

Dahulu kala, para kaisar mengambil legitimasi langit untuk menindas rakyat. Bumi pun melakukan perlawanan, tidak hanya semisal penyerbuan Bastille di Prancis, atau amuk Hang Jebat, tapi mencoret para feodalis sebagai pewaris langit. Tidak ada lagi monarki absolut yang menindas.

Klausul baru pun diterbitkan. Vox populi, vox dei, suara rakyat (kini) adalah suara Tuhan, kata Robert Ferguson. Bukan lagi kaisar yang berhak membuat seruan atas nama langit, tapi dan seharusnya adalah rakyat. Secara teknis, raja-raja hidup mewah dari rakyat lewat cukai dan upeti, lalu di mana logikanya seorang penguasa harus dijunjung oleh rakyat, yang telah memberi mereka makan besar.

Inilah fakta, inilah demokrasi yang sedang kita jalani, mau tidak mau. Atau kemudian sejarah akan menuduh kita sebagai inferior feodalis yang berpura-pura, sebagai rakyat tidak pernah sadar tentang harkat dirinya. Kufur sepanjang hayat.

Epos Melayu telah menawarkan rekonsiliasi purbawi, 1. raja adil raja disembah dan 2. raja zalim raja disanggah. Ini adalah proposal yang cerdas pada zamannya, tapi lihat lah, kita hampir tidak melakukan yang kedua. Kita denial. Saya tidak menemukan landasan logis mengapa ada orang yang melakukan ini, selogis yang dilakukan para buzzer bayaran.

Dalam logika demokrasi, pemimpin bukan untuk dikultuskan. Tapi ditempatkan pada posisinya untuk mengemban tugas dari rakyat. Pemimpin telah dimuliakan oleh singgasana dan fasilitas yang dimilikinya. Itu semua ditebus dengan uang rakyat di dalam pundi Negara. Rakyat telah membayar kontan, giliran pemimpin mencicilnya dengan unjuk prestasi. Bukan mendiamkan korupsi, atau membagi-bagi jatah kolusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun