Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Senyum Mona Lisa di Zaman Masker

6 Februari 2021   08:38 Diperbarui: 7 Februari 2021   07:32 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by cottonbro from Pexels

Sejak memakai masker, senyuman sebagai satu-satunya kemewahan yang dimiliki manusia telah kehilangan fungsi. Senyum hangat adalah bahasa universal kebaikan, kata William Arthur Ward. Tersenyumlah pada rintangan, karena itu adalah jembatan, sebut Medusa. Tapi Joker juga tersenyum.

David J Schwartz dalam The Magic of Thinking Big menyuruh pembacanya untuk tersenyum lebar dan tulus. Senyum yang tulus bahkan mampu membatalkan kemarahan. Ia telah membuktikan sendiri ketika seseorang tersenyum lebar untuk meminta maaf setelah menabrak mobilnya dari belakang.

Senyum Medusa adalah senyum yang cemas. Ia adalah gadis cantik dalam mitologi yang dikutuk karena menjalin asmara dengan Poseidon _nenek moyang Aquaman_di dalam kuil Athena. Rambutnya menjadi ular dan siapapun yang melihat matanya, jadi batu. Medusa mampu merawat hari-harinya dengan senyuman.

Lalu apa senyum Mona Lisa? Leonardo da Vinci menitipkan misteri pada lukisan Mona Lisa. Mona Lisa dituduh melemparkan senyum palsu. Ahli saraf University of Cincinnati (UC) berkata, senyum Mona Lisa bisa jadi adalah senyum terpaksa karena bentuknya yang asimetris. Bukan sebuah senyum yang natural.

Joker yang berperangai sadis juga sibuk tersenyum, tapi itu dituduh sebagai senyuman teror, sebuah smilling depression seorang psikopat. Ihwal senyum, saya suka orang ini ketimbang Mona Lisa. Dia tidak sedang berpura-pura. Dalam depresi berat Joker tetap tersenyum, bahkan lukisan di wajahnya membuat senyuman itu abadi. Senyuman yang tak mungkin dibalas oleh Batman, apalagi Wonder Woman.

Sebuah episode memberikan kesempatan kepada Joker untuk menjelaskan bahwa dia menderita Pseudobulbar Affect (PBA), gangguan pada sistem saraf yang membuat seseorang tetiba tertawa atau menangis. Joker mengoceh, "Aku tidak politis. Aku hanya mencoba membuat orang tertawa".

Seorang politisi mengendong bayi rakyat lalu melempar senyum dalam sesi foto. Sampai kemudian mendapatkan kursinya. Tidak ada yang peduli apakah ia sedang memasang senyum palsu asimetris seorang Mona Lisa atau seringai Joker.

Keduanya bukan contoh baik. Mona Lisa bisa jadi adalah refleksi sang genius Leonardo da Vinci yang sedang tidak berniat tersenyum. Sehingga senyum itu palsu. Pemalsuan di manapun adalah kejahatan. Tapi Joker adalah penjahat, dan satu-satunya kejujuran yang ia miliki adalah senyuman. Senyum bahkan jadi paradoks dari zaman Adam.

Hati kita punya fitur yang bisa mendeteksi senyuman, tulus, terpaksa atau menghina. Maka bila senyuman justru membuat keadaan memburuk, masker lebih baik untuknya. Phyllis Diller membuat metafora senyuman sebagai sebuah lengkungan yang meluruskan segalanya. Senyuman dicakap-cakap oleh permikir klasik sebutlah John Locke, Schopenhaur, Spencer, Descrates dan Hartley.

Senyum tulus itu ibadah, senyum itu sedekah. Nabi Muhammad tersenyum dan tersenyum lebar sampai terlihat giginya. Patung Budha selalu terlihat tersenyum. Tapi hari-hari ini kita hanya tersenyum untuk diri sendiri. Dua orang yang melempar senyum di balik masker, telah menjalankan metode komunikasi yang gagal. Seperti pesan WA tanpa emoticon, kering dan misterius. Kita dipaksa mengaktifkan bahasa tubuh yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun