Ketakutan terhadap Covid-19 jauh melampaui daya bunuhnya. Dibanding saudara sepupunya SARS (2003) dan MERS-COV (2012), Covid-19 lebih ringan, meski pergerakannya lebih cepat dan lebih luas. Covid-19 seperti preman kecil yang tengah mengamuk ke semua arah dan berlari terlalu jauh. Ketika Ebola dan SARS menyerang, belum ada sosial media, belum ada kepanikan global.
Asian Development Bank (ADB) pada 6 Maret 2020 merilis Tingkat Kematian Lima Wabah Dunia. Ebola (1976) merupakan wabah dengan tingkat kematian tertinggi. Wabah yang berasal dari Afrika ini -yang tentu saja tidak didampingi sosial media dan sensasi situs berita daring- tingkat kematiannya mencapai 50%. MERS dan SARS menyusul dengan tingkat kematian sebesar 34,3% dan 10%.
Covid-19 apabila dibandingkan wabah lainnya, tingkat kematiannya berada di atas flu musiman (seasonal flu). Berdasarkan data 6 Maret lalu, Covid-19 memiliki tingkat kematian sebesar 3,4%, sedangkan flu musiman hanya berkisar 0,05%.
Bicara flu musiman, Amerika adalah sasaran empuknya, namun karena bukan pandemi global, karena tidak diteror oleh kepanikan sosial media, kabarnya tidak terdengar. Berdasarkan data statistik terbaru dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC) AS, penyakit flu telah menyebabkan 14.000 hingga 36.000 kematian warga Amerika.
Sedikitnya 250.000 orang dirawat di rumah sakit, dan 26 juta hingga 36 juta orang menderita sakit flu pada musim flu yang merebak di negara itu (2018 - 2019). Angka ini tentu mengejutkan dibandingkan dengan apa yang mereka alami dengan Covid-19 yang baru berkisar 7.000 - an kematian.
Faktanya, pengunjung asal China yang datang ke AS pada saat ini menghadapi kemungkinan 10.000 kali lipat meninggal akibat influenza dibanding kemungkinan warga AS yang berkunjung ke China meninggal akibat Covid-19, tulis Simon Murray, seorang pakar terkenal AS, di portal berita klinis HCPLive.
Tanpa bermaksud meremehkan Covid-19, penyakit ini terkenal karena ia paling baru dan belum ada vaksinnya. Dengan penyebaran yang sangat cepat, membuat orang ketakutan dan sibuk. Dampak terbesar dibanding kematian adalah lumpuhnya ekonomi dunia. Terputusnya kohesi sosial, dan mencekamnya rumah-rumah ibadah. Yang tersisa hanyalah denyut nadi yang lemah, tanda bumi ini masih bernafas.
Semesta kosmos menyimpan jutaan ketakutan. Hanya sedikit yang mampu ditangkap panca indra kita, dan kini justru datang dari makhluk berukuran nano. Covid-19 sedang memainkan psikologi massa melebihi dari seharusnya yang dapat ia lakukan.
Sebagai bandingan, angka yang diterbitkan WHO (2015), 8,8 juta kematian dunia disebabkan oleh jantung koroner, 6,2 juta orang mati karena stroke, 3,1 juta oleh paru-paru kronis, 1,6 juta karena diabetes, dan puluhan juta lainnya datang dari TBC, sirosis, dan Alzheimer. Total 30,7 juta orang akibat penyakit tertentu. Data terakhir ketika saya menulis ini, pada pukul 10:14 WIB, 4 April 2020, kematian global oleh Covid-19 baru 59.172 dan sembuh sebanyak 228.923.
Dengan bantuan teleskop-teleskop raksasa, para ilmuwan bisa mengetahui bahwa ada lebih dari seratus ribu bintang mati setiap jam. Ilmuan memprediksi setiap detik 30 bintang mengalami kehancuran dengan ledakan supernova yang dahsyat. Namun dalam setiap detik pula tercipta 4.000 bintang yang baru. Matahari adalah satu-satunya bintang terpenting bagi kehidupan kita, dan ia sedang berada di jalur antrean.